redaksiharian.com – Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP ) terbuka dengan masukan masyarakat mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
“Semuanya boleh bersuara menyatakan pendapatan tentang isu yang sedang hangat sekarang. Tapi saya harap tidak dilandasi dengan pikiran negatif lebih dulu,” kata Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik Doni Ismanto dikutip dari Antara, Sabtu (10/9/2023).
“Karena pemerintah membuat kebijakan ini dengan niat baik menjaga laut tetap sehat,” kata dia lagi.
Doni mengajak semua pihak untuk melihat secara komprehensif isi peraturan tersebut, tidak hanya dari sisi ekspor pasir laut .
Menurutnya, pemerintah menata pengelolaan hasil sedimentasi di laut utamanya untuk kepentingan ekologi.
Sikap Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, sambungnya, selama ini sudah jelas menempatkan ekologi sebagai panglima dalam membangun tata kelola kelautan dan perikanan, termasuk soal pengelolaan hasil sedimentasi di laut.
“Pesan Bapak Menteri Trenggono yang beliau sudah berulang kali mengatakan bahwa panglima beliau adalah ekologi. Dalam membuat kebijakan pasti yang didahulukan beliau adalah ekologi bukan ekonomi,” tegasnya.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan bidang Hubungan Luar Negeri Edy Putra Irawady menjelaskan beberapa hal yang melatarbelakangi pemerintah menerbitkan kebijakan tata kelola sedimentasi di laut.
Mulai dari kewajiban negara memastikan lautnya sehat dan bersih untuk menjamin keberlanjutan ekologi, mendukung kepentingan nasional dan adanya mandat internasional tentang kesehatan laut, serta tidaknya adanya standardisasi reklamasi selama ini yang berimbas pada kerusakan ekosistem.
“Kita selama ini absen standardisasi reklamasi. Batam ini paham sekali, bagaimana dikeruk bukit-bukit untuk reklamasi karena tidak ada memasok (material),” ungjap Edy.
“Saya sudah beberapa kali ke Busan, Korea, mereka sudah punya standardisasi reklamasi, material apa, ukuran apa, karena setiap bahan yang digunakan ada standardnya sendiri,” ujar Edy lagi.
Singapura paling diuntungkan?
Dikutip dari Reuters, sebelum pelarangan, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut Singapura untuk perluasan lahan melalui reklamasi.
Pasir-pasir impor diambil dari gugusan pulau di sekitar Kepulauan Riau, dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun antara tahun 1997 hingga 2002.
Otoritas Kelautan dan Pelabuhan Singapura saat ini sedang merencanakan dan merancang fase ketiga dari mega proyek Pelabuhan Tuas, dengan pekerjaan reklamasinya diharapkan akan selesai pada pertengahan 2030-an.
Proyek pelabuhan yang bakal dibangun di atas lahan reklamasi itu tentunya membutuhkan pasir dalam jumlah besar untuk menguruk kedalaman laut.
Di sisi lain, Malaysia yang sempat jadi pemasok pasir laut sudah menghentikan ekspor galian C ini ke Singapura.
Kembali ke tahun 2007 saat Indonesia menegaskan larangan ekspor pasir laut, pemerintah Singapura sempat meradang dan terpaksa mencari sumber pasokan pasir dari negara lain.
Kala itu, pemerintah Singapura bahkan menuding Indonesia sengaja menghentikan ekspor pasir laut untuk menekan negaranya agar bersedia bernegosiasi terkait perjanjian ekstradisi dan penetapan garis perbatasan.
Sementara itu dikutip dari Harian Kompas, karena tingginya permintaan pasir laut, kala itu marak eksploitasi pasir laut adalah Kepulauan Riau.
Sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura. Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik per tahun.
Pasir dijual dengan harga 1,3 dollar Singapura per meter kubik, padahal seharusnya harga dapat ditingkatkan pada posisi tawar sekitar 4 dollar Singapura. Dengan selisih harga itu, Indonesia rugi sekitar 540 juta dollar Singapura atau Rp 2,7 triliun per tahun.