Alasan pembentukan tiga provinsi baru — Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan — disampaikan Jokowi dalam pidatonya di di Stadiun Lukas Enembe, Jayapura, Papua, Rabu (31/8).

“Saya sendiri mendengar, pemerintah itu mendengar permintaan-permintaan dari bawah. Saya ke Merauke minta, saya ke Pegunungan Tengah kelompok-kelompok datang ke saya minta itu, dan sudah tujuh tahun, lima tahun yang lalu. Dan kita tindak lanjutkan pelan-pelan,” katanya.

Jokowi menegaskan, pemekaran wilayah di Tanah Papua ini dilakukan dalam rangka pemerataan pembangunan.

Presiden Jokowi bersalaman dengan beberapa tokoh Papua yang hadir di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa, 10 September 2019. (Biro Setpres)

Presiden Jokowi bersalaman dengan beberapa tokoh Papua yang hadir di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa, 10 September 2019. (Biro Setpres)

“Karena memang Tanah Papua ini terlalu luas kalau hanya dua provinsi. Terlalu luas. Untuk memudahkan jangkauan pelayanan, itulah di bangun daerah-daerah otonomi baru. Sekali lagi itu adalah permintaan dari bawah, bahwa ada pro dan kontra itulah yang namanya demokrasi,” tegasnya.

Menanggapi pernyataan Jokowi, Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS Rivanlee Anandar mengungkapkan seharusnya Presiden memeriksa kembali apakah keinginan masyarakat kalangan bawah tersebut hanya sebatas urusan administratif atau juga menuntut kesetaraan dan keadilan distribusi kebutuhan pokok.

Puluhan mahasiswa Papua di Yogyakarta menggelar aksi demo menolak pemekaran dan menuntut referendum bagi rakyat Papua. Aksi digelar di depan gedung DPRD Yogyakarta, pada 10 Mei 2022. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Puluhan mahasiswa Papua di Yogyakarta menggelar aksi demo menolak pemekaran dan menuntut referendum bagi rakyat Papua. Aksi digelar di depan gedung DPRD Yogyakarta, pada 10 Mei 2022. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

“Berkaitan sama pernyataannya Jokowi, satu dia harusnya mengarahkan pidatonya atau ucapan ke arah jaminan akan menurunkan tingkat kesenjangan, misalkan soal pelayanan dasar antara Papua dengan daerah lain yang dekat pemerintah pusat,” ungkapnya kepada VOA.

Kedua, dengan adanya pemekaran Papua ini, ungkap Rivan, seharusnya Jokowi menjamin bahwa pemerintah tidak akan mudah mendirikan pos-pos militer, dan tidak akan mudah menurunkan pasukan di Papua guna menghalau segala bentuk konflik.

“Presiden itu tidak pernah mengeluarkan keputusan politik yang memang menjadi prasyarat penurunan pasukan. Ini yang menjadi problem. Jadi obrolannya bukan lagi soal pemekaran dimulai dari (keinginan/permintaah) bawah dan segala macam, tapi jaminannya apa?,” jelasnya.

Selain itu, menurutnya, Jokowi harus bisa menjamin penurunan tingkat kesenjangan dengan hal-hal yang jauh lebih kongkret yang mungkin bisa membuat situasi di Papua jauh lebih nyaman.

Terkait alasan Jokowi untuk lebih bisa memeratakan pembangunan , kata Rivan, Jokowi seharusnya bisa menyampaikan berbagai evaluasi terkait kesulitan apa saja yang dirasakan oleh pemerintah selama ini dalam upaya memeratakan pembangunan. Pasalnya sampai saat ini kesenjangan pelayanan dasar antara Papua dengan provinsi lain di Indonesia masih sangat besar.

“Apa jangan-jangan dia mencari dalih saja untuk mendapatkan legitimasi soal pemerataan tersebut. Dalam kacamata Papua hal seperti ini wajar untuk disampaikan karena dia sudah bertahun-tahun di Papua isu soal pelayanan dasarnya jauh dari kota-kota besar,” katanya.

“Kita masih mendengar terkait gizi buruk dan sebagainya. Kalau ada dalih-dalih atau alasan tertentu yang digunakan untuk melegitimasi keputusan tertentu itu rasanya sulit untuk kita mudah percaya sama harapan atau keputusan tersebut,” pungkas Rivan. [gi/rs]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.