Komisi II DPR hari Senin (29/8) menggelar rapat kerja tingkat pertama bersama Kementerian Dalam Negeri, Kementeri PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan dan DPD RI. Seluruh pihak sepakat membentuk Panitia Kerja dan pembahasan terkait pembentukan provinsi Papua Barat Daya, sebagai pemekaran dari provinsi Papua Barat, segera dilanjutkan.
Anggota Komisi II Junimart Girsang menyebut, ada enam wilayah yang akan masuk ke dalam provinsi baru ini.
“Cakupan wilayah di dalam rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Papua Barat Daya yaitu sebagai berikut, Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten Maybrat. Adapun Ibukota provinsi Papua Barat Daya berkedudukan di kota Sorong,” kata Junimart.
Sebelumnya, dalam rapat paipurna ke-6 persidangan V tahun sidang 2021-2022, tanggal 30 Juni 2022 lalu, DPR dan pemerintah telah sepakat mengesahkan kelahiran tiga provinsi baru di Papua. Ketiganya adalah Provinsi Papua Selatan dengan Ibukota Merauke, Provinsi Papua Tengah beribukota di Nabire, dan Provinsi Papua Pegunungan dengan Ibukota Jaya Wijaya
Dengan penambahan Papua Barat Daya, sudah ada enam provinsi di Papua, terdiri dua provinsi lama, tiga provinsi telah disahkan dan satu dalam proses. Pemerintah telah merancang, bahwa Papua akan menjadi tujuh provinsi ke depan.
Pemerintah Petakan Konsekuensi
Menteri Dalam Negeri, M Tito Karnavian dalam rapat ini menguraikan tujuan pembentukan Provinsi Papua Barat Daya, sebagaimana provinsi baru sebelumnya. Sesuai rancangan, penambahan jumlah provinsi ini akan berdampak dalam banyak hal, misalnya terkait penyelenggaraan Pemilu 2024.
“Terkait pengisian jumlah kursi DPR RI, kursi DPD RI dan DPRD Papua Barat Daya. Pembentukan provinsi baru berdampak pada perubahan jumlah kursi, Dapil, syarat partai politik dan kesiapan penyelengaraan Pemilu, yang otomatis berdampak nanti pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, tentang Pemilu,” papar Tito.
Selain itu, Tito juga menyatakan bahwa saat ini muncul aspirasi penambahan cakupan wilayah dalam provinsi Papua Barat Daya. Dari enam wilayah yang direncanakan tergabung, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Fak-Fak juga menyampaikan aspirasi untuk menjadi bagian dari Provinsi Papua Barat Daya.
“Pada prinsipnya, pemerintah tetap mendukung pembentukan Provinsi Papua Barat Daya, karena inilah aspirasi dari masyarakat yang ditangkap oleh DPR RI dan juga ditangkap oleh pemerintah,” tambah mantan Kapolri ini.
Tito juga menambahkan, tiga provinsi baru di Papua yang sudah disepakati sesuai aturan harus menjalan fungsinya dalam enam bulan. Karena itulah, tim dari Kementerian Dalam Negeri terus melakukan persiapan, baik di pusat maupun di daerah. Secara dejure, kata Tito, tiga provinsi itu sudah ada.
Sementara Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa mengakui, pembentukan provinsi baru berimplikasi terhadap perencanaan pembangunan. Penganggaran dalam APBN, harus memasukkan pembiayaan untuk daerah otonomi baru (DOB).
“Ini memiliki banyak sekali implikasi, tetapi tentu saja hanya pergeseran saja yang selama ini sudah pernah dilakukan oleh Bappenas. Misalnya penyiapan kebijakan serta dukungan program dan kegiatan untuk pengembangan, terutama pengembangan calon ibukota provinsi,” ujarnya.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menguraikan data, secara kumulatif antara 2016-2020, wilayah Papua mengalami ketimpangan pendapatan dan belanja mencapai Rp 362 triliun. Selama lima tahun itu, pendapatan yang dikumpulkan dalam bentuk pajak dan penerimaan negara dari Papua, tercatat Rp100 trilun. Sedangkan belanja negara di Papua mencapai Rp462 triliun. Namun, di seluruh wilayah Indonesia memang terjadi minus antara pendapatan dan belanja, dengan hanya Jawa dan Bali yang mengawali surplus.
Nazara berharap, dengan penambahan provinsi, akan semakin banyak pihak yang ikut mengawasi penggunaan keuangan negara untuk pembangunan.
“Kalau tentang pendanaan daerah otonom baru, kalau sesuai peraturan perundang-undangan, benchmark itu 31 Juni, Nah tiga daerah ditetapkan 25 Juli. Jadi, kalau ini ditetapkan sesegera mungkin, ikut saja dengan tiga daerah otonom yang lalu, dalam bentuk nanti kita realokasikan, supaya tahun 2023 sudah ada dana transfer kepada daerah otonomi baru ini,” ujar Nazara.
Sejumlah Catatan DPD
Dewan Perwakilan Daerah, diwakili oleh Komite I yang hadir dalam pertemuan ini, memberikan sejumlah catatan terkait pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. Dibacakan oleh Pimpinan Komite I, Filep Wamafwa, DPD memahami bahwa pembentukan tiga provinsi baru sebelumnya, menggunakan prinsip top down, dari menjadi inisiatif DPR RI dan pemerintah.
DPD juga mengingatkan, saat ini pemerintah sebenarnya masih memberlakukan moratorium pembentukan daerah otonomi baru.
“Rencana pemekaran ini, juga dilakukan masih dalam suasana moratorium pembentukan daerah otonom baru, yang tentu saja berpotensi dapat menimbulkan kecemburuan bagi daerah lain yang juga menginginkan pemekaran,” kata Filep.
Filep menambahkan, Komite I DPD telah menerima aspirasi pemekaran daerah dari 15 calon DOB provinsi, 145 calon DOB kabupaten, dan 23 calon DOB kota, dengan total 183 usulan.
“Komite I DPD RI memandang, bahwa sudah saatnya pemerintah mencabut moratorium pemekaran. Sehingga aspirasi masyarakat maupun pemerintah daerah segera terealisasi,” tambahnya.
DPD juga meminta pemerintah serius mendengarkan aspirasi dari tokoh agama dan tokoh adat, dan tidak sepenuhnya hanya mendengar pendapat tokoh politik.
“Keterlibatan tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh agama di tanah Papua, untuk mendengarkan aspirasi mereka. Dibandingkan dengan aspirasi yang disampaikan oleh tokoh-tokoh politik lokal, atau kepala daerah yang jabatan politiknya telah berakhir. Tentu tujuannya, diduga, adalah untuk mempertahankan eksistensi politik pribadi, kelompok dan golongan,” tandasnya. [nh/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.