Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan keberangkatan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) ke sejumlah negara masih belum maksimal karena ada beberapa kendala. Padahal negara-negara tujuan penempatan, seperti Korea, Jepang dan Taiwan, sudah kembali membuka penerimaan tenaga kerja Indonesia menyusul mulai membaiknya kondisi COVID-19 global.

Kepala Staf Kepresidenan Indonesia Moeldoko memberi isyarat saat wawancara dengan Reuters di kantornya di Jakarta, 28 Mei 2019. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Kepala Staf Kepresidenan Indonesia Moeldoko memberi isyarat saat wawancara dengan Reuters di kantornya di Jakarta, 28 Mei 2019. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

“Persoalan keberangkatan calon pekerja migran ini harus segera dicarikan solusinya. Karena penempatan pekerja ke luar negeri adalah salah satu cara menampung angkatan kerja baru setiap tahunnya,” ungkap Moeldoko dalam siaran persnya, saat melaksanakan verifikasi lapangan di PT Perwita Nusaraya, salah satu Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), di Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (17/7).

Verifikasi lapangan tersebut dilakukan oleh Moeldoko menyusul adanya laporan dari pengurus Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) yang mengungkapkan ada puluhan ribu CPMI belum bisa diberangkatkan ke negara tujuan. Mereka masih mengantre di Sistem Komputerisasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (Sisko P2MI).

Para pekerja migran mendaftar tes COVID-19 di distrik Central, Hong Kong, Sabtu, 1 Mei 2021. (Foto: Peter Parks/AFP)

Para pekerja migran mendaftar tes COVID-19 di distrik Central, Hong Kong, Sabtu, 1 Mei 2021. (Foto: Peter Parks/AFP)

Adapun salah satu kendala utama yang dihadapi oleh perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia, ujar Moeldoko, adalah soal belum optimalnya aturan pembebanan biaya dan belum terbitnya aturan komponen biaya per negara oleh lembaga terkait. Padahal, aturan pembebanan biaya dan aturan komponen biaya menjadi acuan proses penempatan dan acuan pembiayaan yang diperlukan semua pihak.

Komponen biaya itu, meliputi biaya persyaratan menjadi CPMI, seperti surat keterangan sehat, sertifikat bukti kompetensi dan kepersertaan BPJS kesehatan, kemudian biaya proses, yakni pelatihan kerja, transportasi dan akomodasi menuju tempat seleksi, serta biaya penempatan yang mencakup pembuatan paspor, medical check-up, psikotes, tiket, dan visa.

“Pada negara tertentu seperti Malaysia, komponen biaya ditanggung oleh pemberi kerja. Namun pada negara lain seperti Taiwan, Hongkong, dan Korea, tidak semua komponen biaya itu ditanggung pemberi kerja atau pemerintah. Perlu ada kesepakatan antara negara pengirim dengan negara penerima tenaga kerja dalam koridor UU yang berlaku di Indonesia,” jelas Moeldoko.

Para petugas kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan 156 pekerja migran Indonesia yang tiba dari Malaysia di Bandara Juanda, Surabaya, 7 April 2020. (Foto: AFP)

Para petugas kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan 156 pekerja migran Indonesia yang tiba dari Malaysia di Bandara Juanda, Surabaya, 7 April 2020. (Foto: AFP)

Ia menjelaskan guna mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah sebenarnya telah memberikan solusi terkait pembiayaan penempatan pekerja migran Indonesia, yakni dalam bentuk pemberian Kredit usaha Rakyat (KUR) melalui perbankan. Menurutnya, hal ini diatur dalam Peraturan Menko Perekonomian No 1/2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat.

Namun, katanya, berdasarkan data Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) Kementerian Keuangan per 15 Juli 2022, dari alokasi anggaran sebesar Rp390 miliar pada 2022, KUR yang terserap untuk CPMI baru lima persennya atau Rp17,6 miliar.

“Dari hasil verlap (verifikasi lapangan -red) tadi, calon pekerja migran mengaku kesulitan mengajukan KUR karena belum ada aturan tentang komponen biaya penempatan yang menjadi salah satu persyaratan untuk perbankan dalam menyalurkan KUR. Selain itu, persyaratan tambahan bank penyalur KUR dirasa memberatkan karena harus ada jaminan cash deposit seratus persen,” tuturnya.

“KSP akan segera mencarikan solusinya bersama Kemenaker, BP2MI dan Kemenlu terkait persoalan komponen biaya, dan masalah lain yang dialami pekerja migran. Pemerintah melalui KSP sangat peduli pada perlindungan PMI,” imbuhnya.

Solusi Pemerintah Belum Maksimal

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan sesuai dengan mandat Undang-Undang (UU) No 18 Tahun 2017, pemerintah seharusnya mengupayakan adanya pembebasan biaya penempatan atau zero cost bagi CPMI tersebut. Namun, dikarenakan adanya pandemi COVID-19 menjadikan komponen biaya penempatan tersebut melambung tinggi, dan dibebankan kepada para pekerja.

Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo (dok. pribadi)

Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo (dok. pribadi)

Ia mencontohkan biaya tambahan yang naik pasca terjadinya pandemi COVID-19 adalah biaya kesehatan yang meliputi tes PCR, kemudian biaya karantina di negara penempatan seperti Hong Kong dimana para pekerja harus membayar minimal Rp21 juta untuk karantina selama 21 hari.

“Itu yang saya kira harus menjadi tugas dari Kemenaker ataupun BP2MI untuk memastikan bahwa tata kelola, atau penempatan pekerja migran pasca pandemi itu tidak seharusnya membebani pekerja migran,” ,” ungkap Wahyu kepada VOA.

“Jadi artinya mumpung sekarang ini mobilitas atau laju ke luar negeri masih angkanya rendah harus juga dibarengi dengan diplomasi pemerintah Indonesia. Jadi mendorong adanya MoU khususnya memastikan di mana salah satu klausulnya juga tentang pembebanan biaya yang tidak boleh memberatkan pekerja migran, ini yang belum dipikirkan oleh pemerintah,” tambahnya.

Dua pekerja migran dari Indonesia sedang menikmati hari libur di Museum Seni Hong Kong, 2 Oktober 2020. (Foto: Jayne Russel/AFP)

Dua pekerja migran dari Indonesia sedang menikmati hari libur di Museum Seni Hong Kong, 2 Oktober 2020. (Foto: Jayne Russel/AFP)

Terkait solusi pembiayaan penempatan yang bersumber dari KUR, menurutnya, juga bukan merupakan solusi yang terbaik. CPMI, ujar Wahyu enggan untuk mengambil KUR tersebut karena tidak ingin terjerat utang.

“Sebenarnya komponen terbanyak itu pelatihan, kalau untuk pelatihan APBN mengalokasikan kemudian APBD juga di dorong saya kira itu lebih solutif ketimbang dengan KUR, karena dengan KUR ini hanya menunda masalah. Makanya juga serapan lima persen ya tidak mengherankan, karena teman-teman juga tidak mau terjerat gali lobang tutup lobang,” tuturnya.

Selain kendala beban biaya penempatan, masalah lain yang kerap menghambat para pekerja migran untuk berangkat adalah masih banyak CPMI yang mendaftar ke negara-negara yang tidak resmi membuka penempatan bagi TKI. Dengan begitu potensi unprosedural, atau bahkan human trafficking juga cukup tinggi. Selain itu lesunya perekonomian negara penempatan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masih banyak negara yang belum membuka lowongan kerja bagi para CPMI tersebut.

Petugas imigrasi Malaysia menahan dua perempuann yang diduga pekerja migran ilegal dari Indonesia dalam sebuah operasi di Nilai, di luar Kuala Lumpur, pada 1 September 2013. (Foto: Reuters/ Bazuki Muhammad)

Petugas imigrasi Malaysia menahan dua perempuann yang diduga pekerja migran ilegal dari Indonesia dalam sebuah operasi di Nilai, di luar Kuala Lumpur, pada 1 September 2013. (Foto: Reuters/ Bazuki Muhammad)

“Baru 10 persen dari angka normal yang bisa berangkat. Jadi memang masih sangat rendah sekali dibandingkan pada masa normal. Kedua, negara-negara utama itu belum membuka. Misalnya Malaysia aja kita kan ribut, Singapura juga belum terbuka, Saudi Arabia juga belum, jadi yang buka juga negara-negara yang selama ini belum menjadi tujuan utama pekerja migran kita misalnya Turki. Mungkin negara tujuan utama yang baru buka, yaitu Hong Kong dan Taiwan, dan mereka juga memberlakukan biaya karantina yang tinggi,” pungkasnya. [gi/ah]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.