Plastik saset, kantong kresek, bungkus mie instan adalah sejumlah contoh sampah rumah tangga yang berakhir di pembuangan. Berton-ton sampah tersebut terkumpul tanpa diolah, karena dinilai tidak memiliki nilai ekonomis.
Komunitas Bijak Sampah di Yogyakarta mencoba mencari jalan keluar persoalan itu, dengan menjadikan sampah tak bernilai sebagai bahan baku pembuatan material bangunan. Mereka sekaligus menggerakkan masyarakat kampung, untuk menyelesaikan masalah sampah sejak awal, dengan manfaat ekonomi sebagai daya tarik. Gerakan itu diberi nama Kampung Bijak Sampah.
“Kita berinisiasi membuat Kampung Bijak Sampah. Kita bisa menyelesaikan persoalan sampah, hanya di kampung saja. Misi kita, tidak ada Tempat Penampungan Sampah Sementara, tidak ada Tempat Pembuangan Akhir, karena semua selesai di kampung masing-masing,” kata koordinator Kampung Bijak Sampah, Megan Dwi Pramudia.
Komunitas Bijak Sampah mencoba menyelesaikan persoalan dalam target yang lebih realistis. Karena itulah, gerakan ini berbasis di kampung, bukan pada tingkat provinsi atau kabupaten.
“Dengan biaya yang minim, tetapi efektivitasnya tinggi. Kita pengen resik (bersih -red), indah, tetapi menghidupi. Kita mendapatkan rumusan yang paling memungkinkan, efektif, efisien, dan semua orang bisa melakukan. Akhirnya, kita tetapkan Kelurahan Pleret ini sebagai pilot project,” tambah Megan.
Komunitas Bijak Sampah dan konsep pengelolaan sampah ini adalah salah satu pemenang kompetisi yang diselenggarakan Pertamina Foundation terkait upaya mengatasi masalah sosial. Masyarakat digerakkan untuk mengumpulkan sampah plastik yang tidak memiliki nilai ekonomis itu, dan mengubahnya menjadi produk bernilai tinggi, bernama Infinity Stone. Bentuknya adalah berbagai bahan bangunan, seperti cone block, paving block, bata, pembatas jalan, bantalan rel kereta api hingga pemecah ombak.
Teknologi Ramah Lingkungan
Tri Setyawati dari Komunitas Bijak Sampah menyebut teknik yang digunakan dalam mengolah sampah plastik menjadi berbagai jenis bahan bangunan, sangat ramah lingkungan. Tidak ada proses pembakaran atau pelelehan plastik. Teknologi itu telah dipatenkan, sedangkan mesin dan produknya belum.
“Ini bisa dikembangkan dalam skala industri, minimal yang dibutuhkan 300 kilo sampah plastik per hari. Kalau dikonversi, kurang lebih sama dengan sampah plastik residu dari lima kecamatan. Ini jenis sampah yang selama ini tidak ada yang mau mengumpulkan, karena nilainya terlalu rendah,” ujar Tri.
Komunitas Bijak Sampah mendorong warga memilah sampah di tingkat rumah tangga. Selama ini, sampah bernilai ekonomi seperti kertas, kardus, botol dan lainnya, telah dikelola mandiri dan dijual karena memiliki nilai ekonomi. Sementara Komunitas Bijak Sampah mengambil peran dengan mengolah sampah yang tersisa, atau residu sampah plastik itu. Bank sampah yang ada di setiap kampung diajak bekerja sama dalam skema ini.
“Secara proses, yang membedakan teknologi kami tanpa pembakaran, tidak ada pelelehan dan tanpa semen. Kami menggunakan sampah plastik dan pasir. Produk hasil pengembangan ini sudah kami ujikan di laboratorium Litbang PUPR di Bandung, hasilnya kualitas di atas kualitas produk yang terbuat dari semen,” tambah Tri.
Prosesnya dimulai dengan mencacah plastik hingga menjadi ukuran kecil, mencampurnya dengan pasir dan mencetak. Begitu jadi, produk ini langsung siap digunakan, tidak seperti produk berbahan semen yang membutuhkan pengeringan.
“Pasir apapun bisa dipakai. Intinya, kami memanfaatkan produk yang mudah didapatkan di sekitar kita. Kita bisa membuat produk apapun, tergantung cetakannya. Mesin kami kembangkan sendiri, menyesuaikan dengan teknologi yang kami kembangkan,” tambahnya.
Produknya juga ramah lingkungan karena memiliki pori-pori. Paving block yang dipasang sebagai pengeras jalan, mampu menyerap air hujan lebih baik dari produk berbagan semen.
Olah Sampah Sebagai Budaya
Pengasuh Kampung Bijak Sampah di Pleret, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nur Subiyantoro, menginginkan gerakan pengelolaan sampah oleh warga menjadi budaya.
“Selama ini, budaya kita soal sampah baru terbatas membuang sampah pada tempatnya, itu saja belum tuntas. Coba kita lihat, di tempat wisata misalnya, yang organik dan non-organik masih dicampur,” kata Nur Subiyantoro.
Dengan memiliki satu mesin kecil di setiap kampung, dibutuhkan setidaknya 15 kilogram sampah sisa, seperti kantong plastik, bungkus sampo, bungkus deterjen, hingga bungkus makanan kecil kemasan.
“Ketika sudah mempraktikkan, temen-temen akan termotivasi mencari sampah plastik 15 kilogram sehari, untuk membuat bahan bangunan ini, sehingga mereka akan bergerak sendiri, karena ada stimulan berupa pendapat dari keuntungan produksi,” lanjutnya.
Nur Subiyantoro yang juga Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bantul mengakui persoalan sampah tidak bisa diselesaikan satu pihak, tetapi membutuhkan peran semua unsur masyarakat. Selain itu, sampah juga tidak bisa diatasi sekadar dengan regulasi. Sebuah skema terpadu, seperti yang diterapkan dalam program Kampung Bijak Sampah ini, dinilai tepat karena menyelesaikan sisa sampah. Di samping itu, mesin produksi bahan bangunan berbahan plastik memberikan keuntungan bagi masyarakat, dan membuat mereka tergerak.
“Keberadaan mesin ini akan menjadi petunjuk dan solusi atas persoalan sampah di wilayah mereka, namun juga memberi nilai ekonomi pada sampah-sampah yang terkumpul,” tambah politisi Gerindra ini.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bantul, Ari Budi Nugroho, menyambut baik upaya tersebut. Apalagi penambahan solusi dengan keberadaan mesin produksi yang mengolah sampah masyarakat.
“Potensi sampah di Kabupaten Bantul setiap harinya mencapai 300 ton. Ini menjadi masalah, karena dari 75 desa, hanya 24 desa yang memiliki usaha pengelolaan sampah mandiri,” kata Ari.
Kampung Bijak Sampah akan terus bergerak, menjadikan setiap kampung mampu mengolah sampah, dan mengambil manfaat ekonomi yang melimpah. [ns/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.