Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan kemungkinan munculnya varian baru COVID-19 pada tahun depan.
Budi menjelaskan, prediksi ini muncul mengingat jumlah kasus harian virus corona dikukuhkan di sejumlah negara termasuk Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa, sudah mencapai 200 ribu.
“Kasus konfirmasi harian setinggi ini, pasti akan mengakibatkan terjadinya mutasi dan timbulnya varian baru. Itu membuat Indonesia harus siap-siap, kita sudah melihat adanya sub varian baru di Amerika Serikat, di Eropa, karena adanya kasus konfirmasi yang sangat tinggi,” ungkap Budi dalam telekonferensi pers usai Ratas Evaluasi PPKM, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (23/8).
Meski begitu, menurutnya, varian baru tersebut diperkirakan tidak akan seganas varian sebelumnya seperti Delta dan Omicron. Dijelaskannya, virus membutuhkan tubuh atau inang untuk berkembang biak, dan virus tersebut tidak ingin tempat dia tumbuh cepat mati, karena otomatis, jika inang mati, virusnya pun akan ikut mati.
“Jadi mutasi virus akan membuat inangnya lebih susah mati. Itu sebabnya virus yang baru, pasti lebih lemah dari virus yang lama, karena dia tidak ingin juga cepat-cepat mati. Itu sebabnya kenapa Omicron lebih lemah dari delta. Jadi kemungkinan besar nanti mutasi berikutnya dari Omicron pasti akan lebih lemah karena dia tidak ingin agar inang yang dia host itu cepat meninggal, ” jelas Budi.
Dalam kesempatan ini, Budi juga mengklaim bahwa Indonesia menjadi satu dari segelintir negara yang mampu mengendalikan pandemi COVID-19. Hal ini katanya terlihat dari kasus harian yang tidak melonjak terlalu tinggi sewaktu gelombang serangan sub varian omicron BA.4 dan BA.5 melanda.
Adapun salah satu faktor yang menyebabkan kasus harian COVID-19 dalam gelombang BA.4 dan BA.5 tidak setinggi negara-negara lain adalah kadar antibodi Sars-CoV 2 di kalangan masyarakat Indonesia yang sudah cukup tinggi. Hasil sebuah asil sero survei menunjukkan, setidaknya 98 persen masyarakat Indonesia memiliki kadar antibodi COVID-19 yang cukup tinggi, yakni sekitar 2.000 per ML.
“Akibatnya apa? Memang terbukti populasi masyarakat Indonesia sudah sangat terlindungi dari level antibodi. Itu sebabnya kenapa untuk kasus gelombang BA.4 dan BA.5 yang di Jepang, Amerika Serikat, Eropa meningkatkan kasus konfirmasi tinggi sekali, di kita tidak, karena level imunitas masyarakat Indonesia sudah sangat tinggi. Hal itu disebabkan oleh dua faktor pertama karena vaksinasi kita sangat gencar, kedua karena infeksi juga, karena gelombang omicron melanda Indonesia di bulan Februari-Maret sampai 60 ribu kasus per hari, lebih tinggi dari gelombang delta,” jelasnya.
Ujian selanjutnya bagi Indonesia adalah pada awal tahun depan. Ini karena kadar antibodi Sars CoV-2 secara perlahan pasti akan menurun sehingga terhadap varian baru virus corona yang mungkin muncul tidak akan maksimal.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah pada November mendatang akan kembali melakukan sero survei untuk mengetahui kadar antibodi Sars CoV-2 yang beredar di masyarakat. Jika ada sebuah daerah yang sudah menurun kadar antibodii-nya maka pemerintah akan kembali memberikan vaksinasi, terutama kepada kelompok yang berisiko tinggi.
“Salah satu inisiatifnya nanti bapak presiden minta vaksinasi untuk anak di bawah enam tahun. Nanti kita akan mulai jajaki, sudah ada vaksinnya di dunia yang disetujui vaksinasi pediatric namanya, sekarang sedang kita jajaki, kemudian vaksinasi untuk yang kelompok lansia, kumorbid, kemudian yang kadar imunitasnya sudah turun atau sudah lebih dari enam bulan, karena kita sudah tahu by name by addres, nanti akan kita segera berikan alternatif vaksin agar dapat meningkatkan kadar imunitasnya untuk menjaga level imunitas populasi Indonesia untuk menghadapi siap-siap di awal tahun depan, kalau misalnya ada varian baru,” tuturnya.
Virus COVID-19 Akan Selalu Bermutasi
Ahli Epidemiologi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengungkapkan virus Sars-CoV 2 pasti akan selalu bermutasi. Sampai detik ini, katanya, setidaknya sudah ribuan mutasi yang dihasilkan dari COVID-19.
“Cuma tidak semua mutasi itu menghasilkan varian of concern, yang secara epidemiologi itu punya magma misalnya tingkat transmisinya lebih tinggi, tingkat patogenitasnya juga lebih tinggi, tapi kan tidak semua. Namun setiap saat (pasti bermutasi) selama orang masih ada penularan. Selain itu kan, vaksinasi di negara-negara tertentu juga belum tinggi, artinya distribusi vaksin belum rata di seluruh dunia. Ada negara-negara miskin yang tingkat vaksinasinya rendah. Nah, itu akan selalu ada varian-varian baru,” ungkap Windhu kepada VOA.
Menurutnya, yang bisa dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah dengan tetap memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait pentingnya menerapkan protokol kesehatan dan meningkatkan cakupan vaksinasi COVID-19. Ia berharap pemerintah segera melengkapi cakupan vaksinasi dosis pertama hingga dosis ketiga yang masih belum 100 persen.
“Yang paling penting itu kejar dulu yang vaksinasi lengkap dua dosis, karena sekali lagi bahwa dua dosis saja belum semua dapat. Kenyataannya dosis satu belum 100 persen, masih 86 persen, jtuntaskan. Yang vaksin dua masih 70 sekian persen, tuntaskan. Apalagi booster pertama masih 25 persen. Jadi tuntaskan dulu baru ngomong soal booster dua. Tapi prirotaskan dulu untuk mereka yang jadi front liner atau nakes, yang masih 19 persen dari total nakes 4 juta,” pungkasnya. [gi/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.