redaksiharian.com – Aktris Hollywood Megan Fox baru-baru ini buat pengakuan terkait kondisi kesehatannya. Mantan Machine Gun Kelly itu mengaku memiliki kondisi Dysmorphia.

Kesehatan mental yang dialaminya itu membuat Megan Fox merasa tidak percaya diri karena melihat sudut pandang berbeda dengan orang lain terhadap dirinya sendiri.

“Saya menderita dysmorphia. Saya tidak pernah melihat tubuh saya seperti orang lain melihat saya. Tidak pernah ada titik dalam hidup saya di mana saya mencintai tubuh saya,” ucap Megan Fox dalam sebuah wawancara.

Pakar kesehatan mental menjelaskan beberapa orang yang memiliki kondisi body dysmorphia akan menjadi seorang penyendiri dan akan kesulitan dalam menjalani sebuah hubungan.

Lalu apa sebenarnya dysmorphia? Bagaimana ciri-ciri, cara mengobati dan risiko dari Body Dysmorphia Disorder , simak penjelasannya berdasarkan rangkuman dari Pikiran-Rakyat.com.

Gangguan tubuh dismorfik atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai body dysmorphia disorder (BDD) merupakan kondisi kesehatan mental yang terobsesi dengan bekas luka atau kecacatan dalam fisik yang biasanya bahkan tidak terlihat oleh orang lain.

BDD ini memiliki kesamaan dengan gangguan obsesif-kompulsif (OCD), yang menyebabkan tekanan bagi orang-orang yang berjuang melawannya.

Salah satu kondisi kesehatan mental yang lainnya adalah dismorfia otot, yang biasanya lebih sering terjadi pada para pria.

Kondisi BDD dapat membahayakan kondisi mental dan harga diri seseorang. Tidak sedikit penderita dysmorphia bergumul dengan kecemasan, rasa depresu, bahkan memiliki keinginan untuk bunuh diri.

Seorang psikolog klinisi di Los Angeles (LA), Ramani Durvasula mengatakan, penting untuk dicatat bahwa dismorfia tidak sama dengan kondisi gangguan makan, penderitanya fokus pada bekas luka atau kecacatan pada tubuhnya.

Menurut Anxiety and Depression Association of America mengungkapkan tidak ada satu penyebab spesifik dari BDD, yang mempengaruhi sekira 1 dari 50 orang di Amerika Serikat (AS), baik laki-laki maupun perempuan.

Para ahli mengatakan gangguan tersebut biasanya muncul pada remaja, masa yang sangat sulit bagi kaum muda karena semua perbuhan dalam penampilan fisik mereka.

Seorang psikoloh di AS, Ann Kearney-Cooke mengatakan beberapa kasus, mungkin ada kecenderungan genetik untuk para penderita BDD atau OCD.

Dalam kesempatan lainnya ia mengatakan, ganguan tersebut mungkin dipicu oleh pengalaman masa kecil yang tidak menyenakan, seperti pelecehanan, pengabaian, atau intimidasi yang membuat orang tersebut terlalu sensitif terhadap kekurangan yang dimilikinya khususnya dalam penampilan mereka.

Selain itu, budaya, sifat perfeksionis juga disebut memiliki peran dalam memicu kondisi dysmorphia tersebut.

“Ini benar-benar tidak menjadi lebih baik dengan sendirinya dan, jika tidak diobati, sebenarnya bisa menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu,” kata Ann Kearny-Cooke.

Tanda-tanda body dysmorphia dapat muncul secara berbeda pada setiap orang. Namun gejala khas dari kondisi ini adalah terobseso dengan cacat yang dirasakan dalam penampilan fisiknya.

Hal ini mendorong orang untuk yang memiliki perilaku obsesif ini untuk memeriksa diri sendiri di cermin untuk waktu yang lama atau mengambil foto di ponsel untuk menilai kekurangan yang dirasakannya dengan lebih baik.

Biasanya mereka dengan dysmorphia sering merasa malu dan berusaha menutupi kekurangan yang dimilikinya. Kondisi ini membuat mereka mencari kepastian dan membandingkan diri sendiri dengan orang lain terlebih saat ini media sosial semakin memperbesar perasaan tersebut.

Tidak ada tes universal untuk mendiagnosa seseorang memiliki kondisi BDD, biasanya orang yang sudah didiagnosa sebelumnya telah bertemu dengan ahli medis atau dokter kesehatan mental .

Hal itu dikarenakan yang dapet menilai gejala dan mendiagnosa kondisi tersebut adalah orang-orang yang ahli dalam kesehatan mental .

“Kami melihat apakan kondisi obsesi ini berdampak bagi hidup mereka,” ucap Ramani Durvasula.

Ia menjelaskan tidak sedikit orang yang memiliki dysmorphia menyebabkan terganggunya kehidupan sosial bahkan pekerjaan yang dijalaninya.

“Mereka menjauh dari pertemanan, dan memutus hubungan dengan orang-orang,” tuturnya lagi.

BDD dapat diobati, meskipun tidak dapat disembuhkan. Pilihan pengobatan berbeda untuk setiap pasien, tetapi penyedia layanan kesehatan cenderung merekomendasikan kombinasi terapi perilaku kognitif dan pengobatan.

“Kami mencoba mengajari orang untuk mengidentifikasi apa yang mereka pikirkan dan bagaimana mereka dapat menantang distorsi dalam pemikiran mereka,” kata Kearney-Cooke.

Dalam kasus yang melibatkan kondisi kesehatan mental tambahan seperti kecemasan dan depresi, pengobatan dapat ditambahkan ke dalam rencana perawatan.***