redaksiharian.com – – Satu setengah tahun berselang sejak Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak kasasi yang diajukan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri , Irjen Napoleon Bonaparte , Polri tak kunjung melaksanakan sidang komisi etik terhadap jenderal bintang dua itu.
Pun demikian dengan rekan Napoleon di Bareskrim, Brigjen Prasetijo Utomo . Mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri itu tak kunjung menjalani sidang komisi etik meski permohonan peninjauan (PK) kembali atas kasusnya dikabulkan Mahkamah Agung pada 12 April 2022 lalu.
Sehingga, hukuman bagi jenderal bintang satu itu yang semula dijatuhkan 3 tahun 6 bulan di tingkat pertama, disunat menjadi 2 tahun 6 bulan di tingkat peninjauan kembali.
Dua perwira tinggi instansi Tribrata itu sebelumnya terjerat kasus suap penghapusan red notice terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra. Dengan terbitnya putusan di tingkat MA, kasus dua terpidana itu telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
Mantan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo pernah mengungkap bahwa sidang etik terhadap Napoleon akan digelar dalam waktu dekat pada 9 September 2022 lalu.
“Informasinya dua minggu lagi,” ujar Irjen Dedi Prasetyo saat ditemui di Gedung Bareskrim Polri.
Namun, delapan bulan berlalu sejak Dedi menyampaikan hal itu, Polri tak kunjung mengumumkan rencana pelaksanaan sidang etik terhadap dua perwira tingginya itu.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menilai, Polri akan dianggap bersikap diskriminatif terhadap anggotanya bila tak kunjung melaksanakan sidang komisi etik terhadap Napoleon dan Prasetijo.
“Kita tunggu dan berharap sidang etik Napoleon dan Prasetijo Utomo akan segera dilaksanakan, mengingat jika tidak segera diselenggarakan sidang etik, akan dianggap sebagai diskriminasi perlakuan bagi yang lain,” kata Poengky kepada Kompas.com, Selasa (30/5/2023).
Dalam perkara yang lain, Polri telah bersikap tegas terhadap anggotanya yang terbukti melakukan pelanggaran pidana, walaupun kasusnya belum inkracht.
Misalnya, dalam kasus eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo, eks Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Polri Hendra Kuniawan, dan mantan Kapolda Sumatera Barat (Sumbar) Irjen Teddy Minahasa.
Diketahui, Polri langsung menggelar sidang etik terhadap Ferdy Sambo setelah kasus yang pembunuhan yang dilakukan jenderal bintang dua terhadap ajudannya, Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, dalam proses penyidikan Bareskrim.
Sedangkan, Hendra Kurniawan yang terjerat kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Adapun Teddy Minahasa yang dijerat kasus peredaran narkotika disidang etik usai mendapat vonis dari pengadilan di tingkat pertama.
Di samping itu, Poengky juga menyoroti soal kewajiban negara yang masih harus ditunaikan terhadap Napoleon dan Prasetijo lantaran tak kunjung dipecat dari Polri.
“Negara masih dibebani dengan membayar gaji mereka, padahal tindak pidana yang mereka lakukan telah terbukti mencoreng nama baik institusi. Kami melihat tidak ada hambatan dalam penyelenggaraan sidang kode etik tersebut,” ujarnya.
Terpisah, Kompas.com juga telah mencoba menghubungi Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho untuk memastikan rencana penyelenggaraan sidang etik terhadap Napoleon dan Prasetijo.
Namun pesan singkat yang dilayangkan ke nomor ponsel jenderal bintang dua itu tak kunjung ditanggapi hingga berita ini diturunkan.
Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto menilai, Polri tidak punya alasan untuk terus menunda sidang etik terhadap Napoleon dan Prasetijo.
“Setahu saya tak ada aturan sebagai dasar untuk menunda sidang KKEP seorang anggota Polri yang sudah divonis pidana, yang berarti sudah terbukti melakukan pelanggaran pidana,” ujar Bambang saat dihubungi, Selasa (30/5/2023).
Ia pun merujuk ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian RI. Di dalam beleid itu diatur bahwa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dapat dilakukan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Bambang pun menganggap bahwa tak kunjungnya sidang etik terhadap Napoleon dan Prasetijo dilaksanakan dapat memunculkan preseden bahwa Polri tebang pilih.
“Dalam PP (Peraturan Pemerintah) 1 tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Polri, syarat-syarat pemberhentian tidak dengan hormat itu sudah terpenuhi, tinggal pertimbangan pimpinan instansi atau Kapolri saja untuk memutuskannya,” ucapnya.
Kasus Irjen Napoleon
Irjen Napoleon Bonaparte adalah polisi yang terjerat kasus hukum karena menerima suap dalam kasus kepengurusan red notice Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Polisi menetapkan Napoleon sebagai tersangka dalam kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Polisi juga menduga Irjen Napoleon melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus itu.
Terkait kasus suap tersebut, Irjen Napoleon divonis empat tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan.
Napoleon dinilai melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tak hanya terjerat kasus suap, saat Napoleon mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri, ia juga diduga melakukan penganiayaan terhadap rekan satu selnya, yakni Muhammad Kosman alias M Kace.
Dalam perkara itu, Irjen Napoleon Bonaparte dihukum selama 5 bulan 15 hari penjara. Ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penganiayaan terhadap M Kece di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri pada Agustus 2021.
Atas perbuatan itu, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri itu terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 351 Ayat 1 juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Kasus Brigjen Prasetijo Utomo
Mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Praseijo Utomo juga menjadi terdakwa karena menyalahgunakan wewenangnya dengan mengeluarkan surat jalan untuk buron Djoko Tjandra atau Joko Soegiarto Tjandra pada 2020.
Prasetijo diduga melanggar Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri dan PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Anggota Polri.
Dalam kasus ini, Prasetijo pun dijatuhi hukuman tiga tahun dan enam bulan penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan.
Prasetijo dinyatakan terbukti menerima 100.000 dollar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra.
Uang itu diberikan melalui pengusaha Tommy Sumardi selaku perantara. Prasetijo dinilai terbukti melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.