redaksiharian.com – Keberanian Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dalam menyibak kekejaman pemerintahan kolonial Belanda di Lebak, Banten, berdampak besar bagi masyarakat lokal.

Melalui buku berjudul Max Havelaar, Multatuli juga berhasil menginspirasi banyak pejuang kemerdekaan, seperti Raden Ajeng Kartini, Ir. Soekarno, dan Ahmad Soebarjo.

“Raden Ajeng Kartini setelah membaca buku Max Havelaar kemudian menerbitkan buku Habis Gelap Terbitlah Terang,” kata Edukator Museum Multatuli, Ginandar saat ditemui oleh Kompas.com di lokasi, Jumat (26/5/2023).

Saat ini bukti sejarah masuknya Belanda ke Lebak dan bangkitnya semangat masyarakat dalam memperjuangkan kemerdekaan bisa dilihat di Museum Multatuli.

Lokasinya ada di depan Alun-Alun Rangkasbitung, tepatnya di Jalan Alun-Alun Timur Nomor 8, Rangkasbitung Barat, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten.

Ginandar mengatakan bahwa ruang tata pamer Museum Multatuli dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruang kolonialisme dan ruang anti-kolonialisme. Terdapat pula tujuh ruang yang dibagi berdasarkan tema periode sejarahnya.

Koleksi di ruang tema kolonialisme

Bagian Museum Multatuli yang masuk ke dalam tema kolonialisme yaitu ruang 1, 2, 3, dan 4. Di bagian ini, pengunjung akan diperlihatkan serangkaian polemik yang melibatkan masyarakat dan pemerintah kolonial Belanda.

Ruang 1 disebut juga dengan “Ruang Selamat Datang”. Pengunjung akan disambut dengan mozaik wajah Multatuli dan salah satu kutipan Multatuli yakni “Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia”.

Berpindah ke ruang 2, yakni “Ruang Kolonialisasi”, pengunjung bisa melihat replika kapal Amsterdam yang dibawa oleh Cornelis De Houtman saat berlabuh di Banten sekitar tahun 1596.

“Sebelum bangsa Belanda menginvasi seluruh wilayah di Nusantara, mereka pertama kali menancapkan jangkarnya di Pelabuhan Teluk Banten,” kata Ginandar.

Selanjutnya di ruang 3 yaitu “Ruang Tanam Paksa”, terdapat replika alat penyeduh kopi daun yang dulu digunakan oleh masyarakat.

Menurut penjelasan Ginandar, pada masa tanam paksa, masyarakat Indonesia waktu itu tidak diperkenankan mengonsumsi kopi. Biji kopi wajib diserahkan kepada VOC.

“Masyarakat yang ada di Pulau Jawa dulu sering membersihkan kotoran gigi dengan biji kopi. Kemudian biji tersebut dijual kepada orang Belanda, maka otomatis orang Belanda dan orang Eropa minum kopi dari biji tersebut,” katanya.

Masih di ruang 3, terdapat replika masin penggiling kopi dan replika biji kopi. Pada masa tanam paksa, kata Ginandar, komoditas biji kopi bisa dibilang cukup melimpah karena kopi termasuk tanaman prioritas.

Di ruang 4 atau Ruang Multatuli, ada buku asli Max Havelaar dalam bahasa Perancis terbitan tahun 1876. Koleksi ini didatangkan langsung dari Museum Multatuli di Amsterdam.

Koleksi di ruang tema anti-kolonialisme

Bagian Museum Multatuli yang masuk ke dalam tema anti-kolonialisme yaitu ruang 5, 6, dan 7.

Ruang 5 disebut juga dengan Ruang Banten. Koleksi yang ada di ruangan ini lebih banyak memaparkan informasi seputar perlawanan rakyat Banten dalam menghadapi penjajah.

Di ruangan yang sama juga terdapat sebuah replika tali gantung, tepatnya di dinding museum. Kata Ginandar, tali gantung tersebut bermakna adanya hukuman gantung yang berlaku pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Di ruang 6 atau Ruang Lebak, terdapat rekam jejak terbentuknya Kabupaten Lebak. Salah satu yang mencuri perhatian yaitu adanya replika prasasti periode Hindu Buddha yakni Prasasti Cidanghiang.

Prasasti Cidanghiang merupakan bukti eksistensi Kerajaan Tarumanegara di Pulau Jawa.

Di ruang 7 yang bertajuk Ruang Temporary, pengunjung akan menemukan koleksi buku Max Havelaar. Buku tersebut boleh dibaca oleh pengunjung, namun tidak boleh dibawa keluar dari Museum Multatuli.