Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jailani menjelaskan pemerintah sementara Afghanistan sejak awal telah melakukan pendekatan dengan semua negara untuk memperoleh dukungan internasional. Namun hingga saat ini masyarakat internasional, termasuk Indonesia, masih menunggu pelaksanaan janji yang disampaikan Taliban ketika berkuasa, termasuk menciptakan pemerintahan baru yang inklusif, menghormati hak asasi manusia – terutama hak perempuan dan anak – serta tidak menggunakan wilayah Afghanistan sebagai sarang atau basis terorisme.
“Kita tunggu dulu bagaimana semuanya. Yang pasti, tidak satu pun negara mengakui (pemerintahan Taliban). Tapi kita melakukan hubungan yang konstruktif, kita memberikan sumbangan, kita mengadakan pertemuan ulama dari tiga negara (Indonesia-Afghanistan-Qatar). Kita menjalin hubungan terus,” kata Abdul Kadir.
Ketika ditanya apakah selama hampir setahun ini, pemerintahan Taliban sudah memenuhi janji-janjinya, dia menegaskan pemerintah masih terus menunggu langkah-langkah konkret yang akan diambil oleh Taliban, seperti pemenuhan hak-hak kaum hawa.
Abdul Kadir menegaskan walaupun masyarakat internasional termasuk Indonesia belum memberikan pengakuan diplomatik atas pemerintahan Taliban di Afghanistan, Indonesia masih terus melakukan hubungan yang konstruktif dengan mereka agar dapat memenuhi komitmennya.
Indonesia akan terus mendorong moderasi beragama di Afghanistan, diantaranya dengan melakukan dialog trilateral ulama Indonesia-Qatar dan Afghanistan. Indonesia juga terus menyuarakan pentingnya penghormatan hak-hak perempuan termasuk hak atas pendidikan.
Budaya Patriarki di Afghanistan
Pengamat Hubungan Internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto mengakui Indonesia sudah mendorong pemerintahan Taliban untuk melibatkan perempuan, namun harus diakui pula puluhan tahun dibekap konflik, budaya patriarki di Afghanistan sulit untuk diubah.
Menurut Nanto, Afghanistan sangat penting bagi Indonesia dalam konteks geostrategis karena faktor ekstremisme dan terorisme di Tanah Air juga tidak lepas dari perkembangan di Afghanistan.
“Jadi kita punya kepentingan untuk kemudian tahu secara dekat dan hubungan baik kita dengan Taliban itu bisa menjadi salah satu filter untuk menangani gejolak terorisme di domestik.
Nanto mengatakan ketika Taliban berkuasa pada 15 Agustus pada tahun lalu sempat muncul euforia di Indonesia bahwa itu pertanda kebangkitan Islam dan sebagainya. Pemerintah ternyata bisa meredam gejolak itu dan mampu membuat berkuasanya Taliban di Afghanistan tidak mendorong terjadinya peningkatan radikalisme di Tanah Air.
Dalam konteks menjelang setahun pemerintahan Taliban, Nanto menekankan yang perlu diperhatikan adalah apakah kekuasaan Taliban meningkatkan atau mampu meredam radikalisme. Selain itu, apakah pemerintahan inklusif dan Islam moderat yang didorong Indonesia bisa diterima oleh Taliban.
Menurutnya Indonesia perlu terus menjajaki hubungan dengan Taliban sekaligus menengahi dan mendorong Taliban supaya dapat menjadi bagian dari masyarakat internasional yang lebih bertanggung jawab.
Nanto menilai Taliban sejauh ini sudah belajar dari pengalaman sebelumnya, tapi untuk pemerintahan yang inklusif dia melihat janji tersebut belum dipenuhi dengan baik. Salah satu indikasinya adalah penurunan peran perempuan di wilayah publik. Indonesia perlu mendrong ada peran perempuan yang tidak dapat diabaikan dalam membangun perdamaian di Afghanistan.
Indonesia harus mengakui stabilitas Afghanistan di bawah Taliban akan berpengaruh terhadap stabilitas di kawasan. Karena itu, Indonesia harus perlahan-lahan mengakui pemerintahan Taliban karena Indonesia juga mendukung keberagaman sistem pemerintahan.
Meski masih sangat hati-hati, tambah Nanto, Indonesia harus terus menjalin hubungan dengan Taliban di tingkat yang lebih rendah hingga pada saatnya merangkul pemerintahan Taliban di Afghanistan secara de facto dan resmi menjadi bagian dari masyarakat internasional yang bertanggung jawab. [fw/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.