redaksiharian.com – Platform media sosial Twitter tengah ramai membicarakan sebuah gambar yang menceritakan seorang lulusan Teknik Mesin Universitas Indonesia (UI) kalah bersaing dengan lulusan Sekolah Teknik Menengah (STM) ketika melamar di perusahaan produsen alat sistem pertahanan matra laut, PT PAL Indonesia (Persero).

Dalam potongan gambar itu penulis yang mengaku sebagai lulusan Teknik Mesin UI tahun 2022 beserta 15 orang temannya kalah bersaing dengan pria berusia kisaran 30-an yang merupakan lulusan STM, namun memiliki pengalaman kerja dan sertifikasi juru las atau welder.

Bener2 stress dan gk bisa diterima akal sih, ceritanya saya melamar kerja di PT PAL, saya lulusan UI teknik mesin 2022…Saya beserta teman-teman ada 15 orang tapi dikalahin sama bapak2 umur 30 an. Bapaknya juga hanya lulusan STM+sertifikat Welding dan pengalaman kerja di Italia Eropa tepatnya di Fincantieri katanya…,” tulis gambar tersebut, dikutip Kompas.com, Selasa (30/5/2023).

Penulis mengaku ‘kekalahannya’ tidak masuk akal, sebab dirinya merupakan lulusan UI. Sementara pesaingnya yang mendapatkan pekerjaan hanya lulusan STM.

Apakah perusahaan sekarang tidak percaya pada sarjana2 di negara sendiri yaa,, ini malah bapak2 ijazah cuma STM diterima,” tulis gambar tersebut.

Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J. Supit mengatakan, fenomena itu menjadi suatu hal yang biasa. Pasalnya pelaku usaha akan tetap mengedepankan biaya dan keuntungan dalam operasional bisnis.

“Jadi bisa mendapatkan orang yang handal, yang bisa mengerjakan bidangnya dengan kompetensi tinggi, itu pasti yang diambil, itu secara basic dan alamiah,” ujar dia kepada Kompas.com.

Menurutnya, cerita itu justru menunjukan pentingnya pengelolaan sistem pendidikan yang tepat untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM) handal, yang bukan mengedepankan gelar, tetapi keahlian yang ditunjukan oleh sertifikasi.

“Bertahun-tahun kita yang menjadi idola title. Sehingga kita lihat dari cara beriklan saja yang ditaruh (gelar) S1 dan sebagainya, tapi tidak mengiklankan mekanik yang berpengalaman dan sebagainya, sertifikasi kompetensi,” tutur dia.

Oleh karenanya, Anton mendukung upaya pemerintah meningkatkan kualitas program vokasi. Hal ini diharapkan dapat merubah sistem pendidikan nasional yang selama ini berorientasi kepada keunggulan akademik semata.

“Kalau ada sistem yang melatih sebelum dia bekerja pasti akan mempengaruhi produktivitas, kalau enggak kan ada trial dan error,” ucapnya.