redaksiharian.com – beberapa tahun terakhir, wacana politik telah makin terpolarisasi. Banyak faktor yang berkontribusi pada tren ini. Salah satu tren yang signifikan adalah penggunaan labelling (penandaan) pribadi dalam politik.

Labelling ini melibatkan pemberian label negatif atau positif kepada individu atau kelompok berdasarkan keyakinan politik mereka, karakteristik pribadi, atau latar belakang.

Dalam dunia politik, labelling menjadi cara umum untuk mengategorikan individu atau kelompok berdasarkan keyakinan politik mereka.

Labelling sering kali berbentuk nama atau istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang dengan ideologi politik tertentu, seperti “kadrun,” “kecebong,” “radikal,” dan “ekstremis” untuk menciptakan pertentangan kita-versus-mereka.

Labelling dapat digunakan dengan alasan positif atau negatif, tetapi sering kali digunakan sebagai alat untuk mencemarkan atau mencela lawan dengan pandangan berbeda.

Labelling pribadi dalam politik tentunya memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik dan memengaruhi cara orang melihat individu atau kelompok dengan keyakinan politik yang berbeda.

Ketika label digunakan untuk menggambarkan seseorang, sering kali terkait dengan stereotipe atau persepsi dengan label tersebut.

Tidak jarang labelling memperkuat stereotipe dan dapat mengarah pada diskriminasi dan prasangka.

Ketika individu atau kelompok diberi label, hal tersebut dapat menciptakan perasaan perpecahan dan membuat lebih sulit untuk menemukan titik temu.

Individu yang diberi label (lebih-lebih sang tokoh calon pemimpin) juga mungkin kurang cenderung terlibat dalam diskusi politik karena mereka merasa pandangan mereka tidak akan dihargai atau didengar.

Hal tersebut dapat menciptakan perasaan “kita” versus “mereka.” Iklim politik menjadi terpolarisasi.

Nah, media memainkan peran yang signifikan dalam mempertahankan labelling pribadi dalam politik. Outlet berita sering menggunakan label untuk menggambarkan partai politik, gerakan, dan politisi individu, yang dapat memengaruhi cara orang melihat individu atau kelompok tersebut.

Dengan demikian, penting bagi outlet berita untuk menjaga objektivitas dan menghindari menggunakan label pribadi yang dapat berkontribusi pada polarisasi politik dan tribalisme, bukan?

Namun, ada strategi yang dapat kita praktikkan untuk mengatasi labelling pribadi dan menciptakan wacana politik yang lebih santun dan efektif.

Pertama, kita harus fokus pada pandangan dan ide-ide spesifik dari orang tersebut, tanpa membiarkan label menghalangi.

Kedua, empati dan mendengarkan aktif. Dengan mendengarkan (tentunya dengan sungguh-sungguh) perspektif seseorang, kita dapat memahami pandangan dan pengalaman mereka.

Empati membantu kita mengenali bahwa pengalaman dan nilai-nilai kita berbeda dari orang lain. Hal ini memungkinkan kita untuk terlibat dalam dialog yang saling menghormati dan produktif.

Ketiga, menemukan titik temu dan membangun “jembatan” di antara perbedaan politik. Ketika kita fokus pada nilai-nilai dan kepentingan yang sama, kita dapat memulai percakapan yang konstruktif yang mengarah pada perubahan yang berarti.

Dengan mengenali ide-ide spesifik, berlatih empati dan mendengarkan aktif, serta membangun jembatan di antara perbedaan politik, kita dapat mendorong wacana politik yang saling menghormati dan efektif, kan?

Memang, menghadapi labelling pribadi dalam politik adalah tantangan yang kompleks. Namun, dengan kesadaran dan komitmen untuk berkomunikasi secara terbuka dan saling mendengar, kita dapat menciptakan iklim politik yang lebih inklusif dan membangun jembatan di antara perbedaan kita.

Dalam hal ini, media juga memainkan peran penting dalam mempromosikan wacana politik yang seimbang dan menghindari penggunaan penandaan pribadi yang dapat memperkuat polarisasi politik.

Pembaca cerdas, tidak mudah terpengaruh labelling!