Jakarta: Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada perdagangan Kamis pagi terpantau menguat ketimbang penutupan perdagangan di hari sebelumnya di posisi Rp14.999 per USD. Perlahan tapi pasti mata uang Garuda mulai meninggalkan level Rp15 ribu di tengah agresifnya The Fed menaikkan suku bunga acuan.
 

Mengutip Bloomberg, Kamis, 7 Juli 2022, nilai tukar rupiah pada perdagangan pagi dibuka menguat ke level Rp14.987 ribu per USD. Pagi ini nilai tukar rupiah bergerak di kisaran Rp14.975 hingga Rp14.987 per USD. Sedangkan menurut Yahoo Finance, nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.927 per USD.

 
Sementara itu, dolar naik ke tertinggi baru 20 tahun pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), dan euro jatuh ke level terendah baru dua dekade. Kenaikan harga energi memberikan bayangan panjang atas ekonomi zona euro tetapi mendukung daya tarik mata uang safe haven AS.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Indeks dolar naik 0,498 persen menjadi 107,04, dengan euro turun 0,8 persen menjadi 1,0184 dolar. Indeks mencapai tertinggi 107,27 dan euro tergelincir 1,0 persen ke level terendah 1,063 dolar di awal sesi.

Dolar dan euro sedikit berubah setelah rilis risalah dari pertemuan Federal Reserve pada Juni, ketika bank sentral AS menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin dalam upaya untuk menahan inflasi.
 

Sebelumnya, indeks dolar, yang melacak greenback terhadap enam mata uang lainnya, melesat di atas 107 sementara euro jatuh di bawah 1,02 dolar, kedua level terakhir terlihat pada Desember 2002. Indeks dolar telah naik 12 persen tahun ini dan ditetapkan untuk tahun terbaik sejak 2014.
 

Kepala Strategi Perdagangan Makro Global Credit Suisse Shahab Jalinoos mengatakan dolar telah menguat karena harga energi tinggi dan Federal Reserve telah menaikkan suku bunga lebih cepat daripada kebanyakan bank-bank sentral lainnya.
 

“Anda memiliki faktor makro tradisional yang mendorong kekuatan dolar saat ini daripada langkah yang merugikan risiko,” ujarnya.
 

Amerika Serikat adalah pengekspor energi bersih, sementara Jerman mengalami defisit perdagangan untuk pertama kalinya sejak 1991. “Suku bunga tinggi di AS dan pergeseran perdagangan yang bermanfaat bagi AS menambah keberlanjutan kekuatan dolar,” pungkas Jalinoos.

 

(ABD)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.