redaksiharian.com – Nama Jusuf Hamka tiba-tiba heboh di berbagai pemberitaan beberapa pekan terakhir. Hal ini terkait tagihannya ke pemerintah atas utang ratusan miliar terhadap perusahaan jalan tol miliknya, PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP).

Menurut pengakuannya, utang itu merupakan kesepakatan CMNP dengan pemerintah atas deposito dan giro yang ditempatkan perusahaan di bank yang telah dilikuidasi pada krisis moneter 1998.

Sejak Bank Yama dilikuidasi pemerintah, utang itu belum dibayar sampai saat ini. Jusuf, yang akrab disapa Babah Alun itu, mengaku sudah menindaklanjuti masalah ini ke berbagai pihak mulai kementerian-kementerian hingga menempuh jalur hukum di pengadilan.

Namun, sampai saat ini masih nihil. Berikut kronologi kisahnya, dirangkum CNBC Indonesia, Sabtu (17/6/2023).

Awalnya, utang pemerintah itu berasal dari deposito CMNP sebesar Rp 78 miliar di Bank Yakin Makmur atau Bank Yama. Seperti diketahui, krisis moneter yang bermula di Thailand itu kemudian merambat ke seluruh Asia Tenggara.

Indonesia bahkan menjadi salah satu negara yang paling terpukul di mana rupiah melemah hingga 75%. Ini kemudian memicu keluarnya modal dari Indonesia dalam jumlah signifikan yang mengancam hancurnya perekonomian nasional.

Tidak hanya dirasakan masyarakat, krisis ekonomi juga menjadikan banyak perusahaan dan bank harus rela bangkrut karena tingkat utang berdenominasi dolar yang sangat besar di luar kendali manajemen yang bisnis utamanya menggunakan rupiah.

Masyarakat yang menyimpan uangnya di bank pun khawatir hingga akhirnya terjadi rush money atau penarikan dana besar-besaran secara serentak. Hal ini akhirnya memaksa pemerintah turun tangan untuk mengurangi efek domino.

Demi menyelamatkan industri perbankan dan memberikan rasa aman kepada pada deposan, akhirnya pemerintah memberikan dana talangan demi dalam bentuk dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

BLBI merupakan dana darurat yang disuntik pemerintah kepada bank swasta dan BUMN pada akhir 1997 hingga awal 1998. Dana tersebut dibagikan oleh pemerintah setelah menutup 16 bank atas saran IMF.

Beberapa waktu setelah krisis ekonomi, dalam upaya penagihan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan biaya BLBI yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp 144,54 triliun, dengan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,444 triliun atau 95,78% dari total dana BLBI.

Ketika itu, CMNP memiliki deposito di Bank Yama, tetapi perusahaan tidak mendapatkan ganti atas depositonya, karena dianggap berafiliasi dengan Bank Yama.

“Pemerintah menganggap kita ada afiliasi karena Bank Yama yang katanya punya Mba Tutut [Soeharto],” jelasnya saat dikonfirmasi CNBC Indonesia.

Pada 2012, Jusuf menggugat pemerintah ke pengadilan agar mendapatkan ganti atas deposito yang belum dibayarkan itu. Hasil saat itu, CMNP menang atas gugatannya dan pemerintah harus membayar kewajiban kepada perusahaan beserta bunganya.

Namun, sampai 2015 perusahaan belum juga dibayar. Bahkan, Babah Alun menyebut utang pemerintah telah membengkak dengan bunganya menjadi Rp 400 miliar.

Saat itu pun Jusuf dipanggil oleh Bagian Hukum dari Kementerian Keuangan yang saat itu diduduki Indra Surya.

Saat pertemuan itu, Kemenkeu disebutnya meminta diskon atas kewajiban membayar bagi pemerintah. Jusuf pun menyetujui dan kewajiban yang harus dibayarkan pemerintah menjadi hanya sekitar Rp 170 miliar, dengan janji pemerintah akan membayar dalam waktu 2 minggu setelah teken perjanjian hari itu.

Mengutip berita acara kesepakatan jumlah pembayaran berkop surat Kemenkeu yang diterima CNBC Indonesia, tertulis bahwa MA telah memutuskan pada 15 Januari 2010, pemerintah dalam hal ini Kemenkeu harus membayar deposito berjangka senilai Rp 78,84 miliar dan giro Rp 76,09 juta.

Putusan hukum itu juga meminta pemerintah membayar denda 2% setiap bulan dari seluruh dana yang diminta CMNP hingga pemerintah membayar lunas tagihan tersebut.

Kemudian CMNP juga sempat mengajukan permohonan teguran ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar pemerintah melaksanakan putusan yang telah inkracht tersebut. Lalu, perwakilan pemerintah bertemu dengan CMNP dan meminta pembayaran dilakukan hanya pokok saja alias tanpa denda.

CMNP keberatan atas permintaan tersebut dan meminta pemerintah tetap membayar denda. Akhirnya kedua pihak sepakat untuk membayar pokok dan denda dengan total nilai Rp 179,5 miliar. Pembayaran itu akan dilakukan dua tahap, yakni pada semester pertama tahun anggaran 2016 dan semester pertama 2017, dengan masing-masing nilai Rp 89,7 miliar.

Meskipun dirinya sudah menempuh masalah ini melalui berbagai pihak, sampai saat ini piutang CMNP belum juga dibayarkan.

“Tapi engga dibayar sudah 8 tahun. Sudah dilempar sini, lempar sana, ya capek juga akhirnya saya enggak mau kalau sekarang cuma dibayar Rp 170 miliar. Sudah hampir Rp 800 miliar kalau ikut bunga, karena keputusan MA ada bunganya,” ucap Jusuf.