Analis mengungkapkan bahwa dua penangkapan anggota kelompok teroris Jemaah Islamiyah (JI) yang terjadi baru-baru ini menunjukkan bahwa terdapat perubahan pola pergerakan pada kelompok teror kawakan tersebut dalam menjalankan aksinya di dalam negeri.
Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri menangkap koordinator teroris wilayah Aceh jaringan JI berinisial ISA (37) di Kantor Desa Sidodadi, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, pada Rabu (3/8).
Sebelumnya, Densus 88 juga menangkap terduga teroris jaringan JI di Magetan, Jawa Timur, berinisial RY. Kedua penangkapan itu menunjukkan bahwa jaringan JI masih terus bergeliat meski tergerus oleh eksistensi dari sesama kelompok teror Jemaah Ansharut Daulah (JAD).
Menurut pengamat terorisme, Stanislaus Riyanta, saat ini kelompok teroris jaringan JI telah mengubah pola pergerakannya. Hal itu membuat jaringan JI tetap ada, meski gerakan yang dilakukan tak lagi menggunakan kekerasan.
“Kaderisasi itu tetap mereka (JI) menjalankan secara diam-diam. Mereka mengubah gerakan pasca tertangkapnya Abu Bakar Ba’asyir. Mereka mengubah strategi dari cara-cara kekerasan menjadi non kekerasan. Makanya, pasca Abu Bakar Ba’asyir tertangkap nyaris tidak terdengar aksi-aksi terorisme yang dilakukan JI. Akhirnya gerakan itu didominasi oleh kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS seperti JAD,” katanya kepada VOA, Kamis (4/8).
Stanislaus menjelaskan bahwa jaringan JI yang berafiliasi dengan Al Qaeda memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak di Indonesia. Setidaknya terdapat dua ribu pengikut JI di Indonesia yang sebagian besar merupakan mantan kombatan yang bertugas di daerah konflik seperti wilayah Filipina Selatan dan Afghanistan.
“Ini jumlah yang cukup besar walaupun mereka sebagian usianya mulai tua,” ungkapnya.
Jaringan JI saat ini tak lagi menggunakan cara kekerasan, ungkap Stanislaus. Untuk masuk ke dalam masyarakat, mereka menggunakan cara yang lebih mudah diterima seperti dakwah, penggalangan dana, hingga mengirimkan anak-anak muda ke Suriah, agar tidak terlalu mendapat penolakan.
“Sebenarnya mereka bukan menjadi sleeper cell. Mereka hanya mengubah model dari kekerasan menjadi non kekerasan. Mereka juga punya bisnis, kebun, dan menggalang dana lewat kotak amal. Jadi mereka sedang konsolidasi sebenarnya. Mereka masuk ke dalam kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan masyarakat. Itu sekarang cara yang mereka tempuh,” jelasnya.
Pemerintah, menurut Stanislaus, harus dapat memberdayakan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait ancaman kelompok teror tersebut. Hal itu juga dinilai akan lebih memudahkan Densus 88 dalam melakukan tugasnya terkait dengan terorisme.
“Densus 88 jumlahnya terbatas sementara harus mengawasi seluruh Indonesia. Jadi memang harus ada kolaborasi Densus 88 dengan masyarakat dan semua komponen pemerintah maupun non-pemerintahan. Terutama ormas keagamaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah harus bekerja sama dengan Densus 88 untuk mencegah radikalisme serta terorisme di masyarakat,” pungkasnya.
Sementara itu, terkait dengan penangkapan koordinator teroris wilayah Aceh jaringan JI, Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Winardy, membenarkan adanya penangkapan satu terduga teroris tersebut. Terduga teroris berinisial ISA itu memiliki peran penting dalam struktur JI sebagai koordinator daerah Aceh.
ISA juga diketahui sebagai ketua Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) Sumbagut Wilayah Aceh Tamiang sejak 2010 sampai sekarang. Dia pun pernah mengikuti Turba FKPP Sumatera Utara-Aceh yang disabotase dengan pelatihan guru pesantren di Villa Gundaling, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Tanah Karo, Sumut, pada tahun 2010 hingga 2011.
“Saat ini dia diamankan ke Rutan Polda Sumut untuk dilakukan pemeriksaan intensif,” jelas Winardy dalam keterangan tertulisnya kepada VOA. Dengan ditangkapnya ISA, maka total terduga teroris yang sudah ditangkap dari berbagai wilayah di Aceh adalah 15 orang. Mereka merupakan kelompok JI maupun JAD. [aa/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.