Mahkamah Agung (MA) telah menetapkan delapan hakim ad hoc yang akan mengadili perkara pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk yang terjadi di Kabupaten Paniai, Papua. Namun, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meragukan para hakim bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut dengan baik.

VOA – Delapan hakim ad hoc telah ditetapkan oleh MA untuk mengadili perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Kabupaten Paniai, Papua. Namun, KontraS menilai tidak ada kecermatan dari MA dan adanya potensi kegagalan dalam persidangan kasus pelanggaran HAM berat tersebut.

“Kami melihat hanya ada dua sampai tiga nama yang layak untuk menjadi hakim dalam persidangan tingkat pertama untuk peristiwa Paniai, tapi yang dipilih MA delapan orang. Kami nilai tidak ada kecermatan dan potensi kegagalan dalam proses persidangannya nanti karena kualifikasi serta kualitas dari para hakim yang begitu mengecewakan,” kata Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Ahmad Sajali, Rabu (27/7).

Delapan hakim ad hoc yang telah ditetapkan MA itu adalah Siti Noor Laila (mantan Komisioner Komnas HAM), Robert Pasaribu (Aparatur Sipil Negara), Sofi Rahmadewi (dosen), dan Anselmus Aldrin Rangga Masiku (advokat) sebagai hakim ad hoc pengadilan HAM tingkat pertama. Kemudian, Mochamad Mahin (mantan hakim ad hoc), Fenny Cahyani (advokat), Florentia Switi Andari (advokat), dan Hendrik Dengah (dosen) untuk pengadilan HAM tingkat banding.

KontraS menilai ada kebingungan yang ditunjukkan oleh panitia seleksi MA untuk menetapkan delapan hakim ad hoc tersebut. Salah satunya adalah pengumuman para hakim ad hoc terpilih yang seharusnya dilakukan pada 22 Juli 2022 tapi bergeser ke 25 Juli 2022. “Sepertinya ini ada satu kebingungan yang dialami MA,” ujar Ahmad.

Bukan hanya itu, KontraS juga melihat ada unsur tergesa-gesa dari panitia seleksi MA dalam penetapan hakim ad hoc pengadilan HAM. Proses yang tergesa-gesa itu pun dinilai telah menimbulkan ketidakoptimalan yang terjadi dalam proses seleksi hakim ad hoc tersebut.

“Mayoritas hakim tidak bisa menjawab atau menerangkan unsur-unsur dalam pasal mengenai pelanggaran HAM berat. Kemudian, juga tidak bisa menjelaskan satu konteks yang sebenarnya sudah dinyatakan jelas oleh Kejaksaan Agung yakni adanya unsur komando dalam pelanggaran HAM berat peristiwa Paniai,” ucap Ahmad.

Keadilan Setengah Hati?

Kasus pelangggaran HAM berat Paniai terjadi pada 7 hingga 8 Desember 2014, silam. Kasus itu berawal saat sejumlah anak muda yang sedang mempersiapkan acara Natal dianiaya oleh anggota TNI. Saat itu para pemuda itu hanya mengingatkan anggota TNI yang sedang melintas untuk menyalakan lampu kendaraan lantaran jalanan terjal. Namun, hal itu malah direspons anggota TNI dengan memukuli pemuda-pemuda tersebut.

Keesokan harinya para orang tua pemuda yang dianiaya itu melakukan demonstrasi di depan kantor polisi dan koramil di Paniai. Mereka protes lantaran anak-anaknya telah menjadi korban pemukulan dan kesewenang-wenangan anggota TNI. Malang nasib para demonstran malah direspons dengan serangan yang begitu tidak manusiawi yakni memakai rentetan tembakan.

Kejadian itu akhirnya menyebabkan empat orang tewas di tempat. Kemudian, disusul satu orang tewas saat mendapatkan perawatan akibat luka tembak. Dua puluh satu orang mengalami luka-luka. Kemudian, dalam kasus berdarah itu hanya satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka yakni IS perwira penghubung di Kodim Paniai.

Ahmad pun meminta kasus pelanggaran HAM berat Paniai harus diselesaikan secara tuntas. Menurutnya, aparat penegak hukum harus mengungkap pelaku lain yang terlibat dalam peristiwa Paniai berdarah tersebut.

“Kami menunggu komitmen serius negara untuk bisa menganggap bahwa pelanggaran HAM berat ini adalah satu kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Diperlakukan bagaimana semestinya siapa pun terlibat diproses. Hak dari para korban dipenuhi dan publik mengetahui fakta,” pungkasnya.

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengatakan berbagai macam kejanggalan, ketidaksiapan, dan ketergesa-gesaan terkait penetapan hakim ad hoc menunjukkan sinyal ketidakseriusan pemerintah dalam upaya penanganan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai.

“Ini tentu menjadi catatan yang sangat kritis tentang bagaimana pemerintah masih belum kunjung serius menyelesaikan pelbagai macam penyelesaian masalah-masalah HAM di Papua. Padahal salah satu pekerjaan rumah yang paling penting saat ini menurut kami adalah membawa keadilan hadir di Papua. Memastikan bahwa pelanggaran HAM di Papua diselesaikan secara serius termasuk di Paniai,” ucapnya.

Menurut Wirya, untuk membawa keadilan di Papua tak bisa dilakukan setengah hati. Pemerintah seharusnya menjadikan kasus pelanggaran HAM berat seperti di Paniai, Wasior, dan Wamena dijadikan pelajaran untuk melindungi HAM di Papua.

“Yang terjadi malah sebaliknya, upaya penanganan masalah yang terjadi di Papua dilakukan setengah-setengah. Saat ada bentrokan bersenjata diselesaikan dengan cara yang justru tidak menyelesaikan hal itu dan malah berujung pada serangkaian pelanggaran HAM yang memperburuk ketidakpuasaan publik,” tandasnya. [aa/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.