redaksiharian.comJakarta, CNBC IndonesiaPertemuan the Fed bakal digelar dua pekan ke depan dan ada masa “blackout period”. Pernyataan apapun dari the Fed pada minggu ini akan diteliti oleh pasar karena mereka harus menjahit informasi apapun untuk mengetahui kebijakan the Fed.

Mengutip dari Reuters, Powell berbicara dalam acara Annual Monetary Conference yang diselenggarakan Cato Institute. Dalam kesempatan tersebut, Powell menegaskan akan terus menaikkan suku bunga sampai target inflasi tercapai.

“Saya meyakinkan Anda, saya dan rekan-rekan saya sangat berkomitmen dalam proyek ini (menaikkan suku bunga) sampai tugas kami selesai (inflasi turun),” kata Powell.

Pasca pernyataan tersebut, pasar melihat suku bunga akan dinaikkan lagi sebesar 75 basis poin bulan ini, dengan probabilitas sekitar 86%.

Sementara itu, Presiden Federal Reserve Bank of Chicago Charles Evans memberikan kode kenaikan suku bunga jumbo juga akan terjadi pada bank sentral Amerika Serikat (AS).

Ia mengatakan para pembuat kebijakan dapat memberikan kenaikan jumbo ketiga berturut-turut dalam suku bunga ketika mereka berkumpul pada 20-21 September mendatang.

“Saya pikir kami punya rencana yang bagus. Kami bisa melakukannya dengan sangat baik (menaikkan) 75 bps pada bulan September,” katanya Kamis saat memberikan sambutan di sebuah acara yang diselenggarakan oleh College of DuPage di Glen Ellyn, Illinois yang dilansir dari Bloomberg.

“Pikiran saya tidak dibuat-buat. Saya tahu bahwa kita perlu menaikkan suku bunga ke tingkat yang jauh lebih tinggi daripada saat ini,” kata Evans, yang tidak memilih kebijakan moneter tahun ini.

Para bankir sentral AS menaikkan suku bunga dengan cepat untuk mengekang inflasi terpanas dalam empat dekade.

Asal tahu saja, Fed sudah mengerek naik suku bunga acuannya sebanyak 4x menjadi 2,25% sepanjang tahun ini. Di bulan Juni dan Juli, Fed menaikkan Federal Funds Rate (FFR) masing-masing sebesar 75 bps dan menjadi pengetatan moneter sejak tahun 1990-an.

Kebijakan ini diambil karena inflasi kian meninggi. Inflasi Amerika Serikat (AS) pada bulan Juli 2022 berada di angka 8,5% secara tahunan. Angka ini sendiri sebetulnya lebih rendah dari Juni lalu yang berada di kisaran 9,1%. Angka inflasi ini diakui jauh di bawah ekspektasi meski harga pangan masih mengalami peningkatan.

Sebelumnya AS mengalami inflasi cukup parah. Ini juga mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga pada akhir Juli lalu.

Kendati demikian, Th Fed yang masih akan agresif dalam mengerek suku bunga acuan diprediksi akan membuat ekonomi AS terdampak. Pertumbuhan ekonominya diramal bakal melambat bahkan sampai resesi.

Namun Fed ‘kekeuh’ bahwa inflasi tampaknya belum mencapai puncak sehingga kebijakan moneter yang restriktif masih akan ditempuh.

Kendati tingkat suku bunga telah dinaikkan dengan tajam, tingkat pengangguran berada di level 3,5%. Persentase tersebut berada pada level terendah sejak 1969. Di sisi lain, suku bunga tinggi membuat ekspansi dunia usaha melambat. Alhasil, perlambatan ekonomi pun tak bisa terhindarkan.

Saat ini memerangi inflasi merupakan tugas utama The Fed. Para pejabat yakin dapat mencapai soft landing yang mengekang inflasi tanpa menyebabkan resesi.

Pertumbuhan ekonomi negatif yang terjadi pada paruh pertama 2022 menjadi pukulan telak bagi Amerika Serikat (AS). ‘Mimpi buruk’ pun diprediksi masih berlanjut.

Stephen Roach, rekan senior di Universitas Yale dan mantan ekonom Federal Reserve, menyatakan Ketua The Fed Jerome Powell tidak punya pilihan selain mengambil pendekatan Paul Volcker untuk pengetatan. Pada awal 1980-an, Volcker secara agresif menaikkan suku bunga untuk menjinakkan inflasi yang tak terkendali.

Roach juga berspekulasi bahwa konsumen akan segera ‘menyerah’ karena inflasi yang terus melambung. Begitu mereka melakukannya, dia memperkirakan kemunduran dalam pengeluaran akan berdampak terhadap ekonomi dan mulai mengguncang pasar tenaga kerja.

Tak hanya AS, dia juga memproyeksikan ekonomi global akan tenggelam dalam resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA