REUTERS/AFP — Prihatin dengan siswa tunarungu di Tanah Air yang sering ketinggalan pelajaran agama, ustaz Abdul Kahfi mendirikan pesantren untuk membantu mereka belajar dan mengaji kitab suci Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa isyarat.
Dibuka pada 2019 di Yogyakarta, sekolah Darul A’shom kini memiliki 12 staf. Sekarang pesantren tersebut dapat menampung 115 anak laki-laki dan perempuan tunarungu dari seluruh nusantara yang berbagi mimpi untuk dapat menjadi seorang hafiz, orang yang bisa menghafal Al-Quran.
Anak-anak duduk bersila di lantai, menggerakkan tangan mereka secara ekspresif sambil melihat buku pelajaran mereka.
Terdengar suara yel-yel dan tos setelah mereka membacakan sebuah petikan dengan benar kepada Abdul ketika dia memanggil mereka ke depan kelas.
Abdul berharap sekolah ini akan memudahkan generasi penerus untuk belajar tentang Islam.
“Saat ini orang dewasa dengan gangguan pendengaran hampir tidak mengetahui agama secara mendalam karena sejak usia sekolah mereka tidak pernah mempelajarinya,” kata ulama tersebut, seraya mencatat betapa minat terhadap sekolahnya telah menyebar dengan cepat.
Kurikulum sekolah umum di Tanah Air memberikan pengajaran agama yang terbatas kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
Hanya tiga dari 10 anak penyandang disabilitas di Indonesia yang dapat bersekolah, menurut survei yang dilakukan oleh badan anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF).
Siswa tunarungu biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk belajar membaca dan menghafal Al-Quran di sekolah.
“Sekarang saya bisa membaca dan menghafal 30 juz Al-Qur’an,” kata Muhammad Farhad, seorang siswa berusia 10 tahun, yang mengatakan bahwa dia ingin menjadi seorang ustaz suatu hari nanti agar dia bisa menularkan ilmunya kepada orang lain.
Tak Lagi Malu
Di sebuah ruangan yang berjarak 100 meter dari ruangan yang menampung anak laki-laki, sekelompok anak perempuan berpakaian muslim duduk terpisah dari rekan laki-laki mereka, melakukan latihan yang sama dalam barisan.
“Saya ingin pergi ke surga bersama ibu dan ayah saya… Saya juga tidak ingin meninggalkan tempat ini. Saya ingin menjadi guru di sini,” kata siswa tertua di sekolah itu kepada AFP.
Sementara orang lain dapat menghafal suku kata untuk melafalkan teks dengan keras, para penyandang tunarungu harus dengan susah payah menghafal setiap karakter dari 30 bagian ayat kitab suci.
Muhammad Rafa, seorang siswa berusia 13 tahun yang telah terdaftar di sekolah selama dua tahun, memutar ibu jari dan jari-jarinya ke dalam tanda yang berbeda, fokus pada pembelajaran ayat di depannya.
“Saya sangat senang di sini. Di rumah sangat sepi, tidak ada yang bisa diajak bicara karena tidak ada yang tunarungu, semua orang normal,” kata Rafa, yang hafal sembilan ayat Alquran, kepada AFP melalui seorang penerjemah.
Baik Abdul maupun para donatur menyediakan dana untuk sekolah tersebut, dan anak-anak dari keluarga miskin yang tidak mampu membayar uang pendaftaran sebesar Rp1 juta untuk membeli buku, seragam dan perlengkapan mandi diperbolehkan untuk belajar secara gratis.
Anak-anak juga belajar hukum Islam, matematika, sains dan bahasa asing sehingga mereka dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Namun dampak lain dari sekolah adalah meningkatkan kepercayaan diri anak-anak sebagai anggota masyarakat tunarungu.
“Anak saya dulunya minder, dia tahu dia berbeda,” kata Zainal Arifin, yang putranya Arfi yang berusia 11 tahun belajar di sekolah itu, kepada AFP.
“Sejak dia datang (ke sini) dia tidak lagi malu berada di tempat umum. Dia mengatakan kepada saya bahwa Allah membuatnya seperti ini, dan dia telah sepenuhnya menerima siapa dia,” tambahnya.[ah/rs]