redaksiharian.com – – Kabupaten Gunungkidul , Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), punya satu permukiman unik, yakni Kampung Pitu .
Adapun pitu adalah kata dalam bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonsia berarti tujuh. Kampung ini hanya dihuni tujuh kepala keluarga.
Lokasi Kampung Pitu berada di kawasan perbukitan sebelah utara dari puncak Gunung Api Purba Nglanggeran.
Lokasinya tepatnya berada di Padukuhan Nglanggeran Wetan RT 19, Kelurahan Nglanggeran, Kapanewon atau Kecamatan Patuk, Gunungkidul, DIY.
Sekilas kampung ini tak berbeda dengan wilayah lainnya di Gunungkidul. Sebagian besar rumahnya berbentuk limasan, dan berbentuk kampung. Rumah berdiri berjauahan karena kondisi tanah berbukit.
Sejarah Kampung Pitu
Sejarah berdirinya kampung pitu berawal dari sekitar Telaga Guyangan. Menurut cerita turun temurun yang dipercaya penduduk sekitar, area persawahan yang ada mata airnya itu merupakan suatu telaga.
Telaga itu airnya digunakan untuk mencuci kuda semberani. Bahkan, sisa tapak kuda semberani masih ada hingga saat ini.
Untuk Kampung Pitu, awalnya berasal dari kakak beradik Iro Dikromo dan Tirtosari yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah.
Saat itu ada lahan kosong di sekitar Telaga Guyangan, lalu ada sayembara Keraton yang menjanjikan hadiah tanah bagi siapa pun yang mau dan mampu menjaga pohon pusaka bernama Kinah Gadung Wulung, maka diperbolehkan tinggal disana.
Hanya kedua orang inilah yang bisa tinggal di sekitar Telaga Guyangan, dan saat ini diberi nama Kampung Pitu.
Surono, salah seorang keturuanan Iro Dikromo mengatakan, ayahnya yang bernama Redjo Dimulyo merupakan keturunan keempat. Usianya sekarang kurang lebih 106 tahun.
“Nama Kampung Pitu itu belum lama, baru sekitar tahun 2014 atau 2015 berubah nama. Awalnya namanya Tlogo, (berada di sekitar) Gunung Wayang (Sebutan kawasan Gunung Api purba Nglanggeran),” kata Surono kepada Kompas.com di rumahnya, Jumat (16/6/2023).
Hanya ada tujuh kepala keluarga
Dikatakannya, tidak ada aturan mengenai harus dihuni tujuh kepala keluarga. Hanya saja dari dulu hingga sekarang, setiap lebih dari tujuh kepala keluarga, kelebihannya akan pergi karena tidak betah.
“Dari cerita bapak saya itu kejadian (warga tidak betah) sudah dua kali,” kata dia.
Surono mengatakan, tinggal di perbukitan yang cukup jauh dari desa yang lainnya, akses ke Kampung Pitu itu cukup berat sebelum tahun 2014-an. Warga harus berjalan kaki, karena sepeda motor cukup sulit mencapainya.
Bahkan, untuk aliran listrik meteran harus disambung dari bawah ke atas, dan memasang kabel sekitar 3 kilometer (km).
Berkunjung ke Kampung Pitu, harus melewati jalanan cor blok tanjakan dan turunan cukup curam. Pemandangan persawahan dan rumah penduduk di sela batuan vulkanik jutaan tahun lalu.
Beberapa tiang lampu baru akan dipasang jalan menuju kawasan kampung pitu. Memasuki kampung pitu ada sebuah mushala yang dibangun tahun 2016 lalu. Di atas perbukitan setelah sampai ke kampung pitu, pengunjung bisa menikmati pemandangan salah satu bagian puncak gunung api purba Nglanggeran.
Kampung pitu memiliki pantangan menyelenggarakan wayang kulit. Itu karena gunung di sekitar kampung pitu diberi nama Wayang maka tidak boleh ada pertunjukan wayang kulit. Hingga kini anjuran tersebut masih dipegang oleh masyarakat sekitar.
Adapun Telaga Guyangan yang saat ini sudah berubah menjadi area persawahan, masih ada sumber mata airnya di bawah pohon. Di batuan yang dipercaya ada jejak kuda semberani pun diamankan menggunakan rantai besi.