redaksiharian.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ) menanggapi vonis hukuman mati yang dijatuhkan Majelis Hakim pada terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo . Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, pihaknya sangat menghormati keputusan hakim yang tentunya sesuai dengan ketentuan hukum.

Lebih lanjut, Atnike mengamini tak ada satu orang pun yang dapat berdiri di atas hukum, termasuk Ferdy Sambo . Pasalnya akibat tingkah orang yang sempat menduduki takhta tinggi di kepolisian itu, nyawa seseorang hilang.

” Komnas HAM turut merasakan duka dan kehilangan yang dirasakan oleh keluarga korban almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat,” ujar dia.

“ Komnas HAM menghormati proses dan putusan hukum yang telah diambil oleh Hakim, dan memandang bahwa tidak seorang pun yang berada di atas hukum,” katanya.

Atnike tak menampik bila kejahatan yang dilakukan sang Mantan Kadiv Propam tergolong berat. Apalagi yang bersangkutan terbukti menggunakan kekuasaannya untuk melakukan perintangan penyidikan.

“Menurut putusan hakim, selain terbukti melakukan perencanaan pembunuhan, Ferdy Sambo telah melakukan obstruction of justice (penghalangan atas keadilan/ perintangan penyidikan). Terlebih dengan menggunakan kewenangannya sebagai aparat penegak hukum,” ucap dia.

Kendati demikian, tanpa mengurangi rasa hormat pada hukum dan simpati ke keluarga yang ditinggalkan, Komnas HAM berharap, ke depannya hukuman mati ditiadakan. Hal ini mengingat dalam KUHP yang baru, hukuman mati tak lagi jadi pidana pokok seperti aturan sebelumnya.

“ Komnas HAM mencatat bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, hukuman mati bukan lagi menjadi hukuman pidana pokok, dan berharap agar penerapan hukuman mati ke depan dapat dihapuskan,” ujar Atnike.

Bersamaan dengan hebohnya pembicaraan vonis yang dijatuhkan hakim pada Sambo, viral di media sosial video lawas Hotman Paris yang membahas soal KUHP baru. Dalam unggahan lamanya, Hotman tampak menyinggung celah dalan Undang-undang yang dapat menangguhkan hukuman mati pada seorang terdakwa. Aturan tersebut tertuang dalam KUHP Baru Pasal 100 ayat (1).

“Hakim bisa menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan mempertimbangkan tiga hal,” katanya.

Tiga hal yang dimaksud di antaranya terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki, peran terdakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting, atau, ada alasan yang meringankan. Jika hal-hal tersebut terpenuhi, maka hukuman mati bisa berubah menjadi hukum bui seumur hidup.

Meski saat itu Hotman tidak membahas soal vonis Ferdy Sambo , namun sang pengacara ternama menyayangkan perubahan dalam KUHP tersebut.

“Aduh makin setiap pasal saya baca di KUHP Pidana yang baru ini bikin gua pusing. Nalar hukumnya di mana ini orang-orang yang buat undang-undang,” katanya.

“Nih ini pasal 100 disebutkan seseorang terdakwa yang dijatuhkan hukuman mati nggak bisa langsung dihukum mati harus dikasih kesempatan 10 tahun,” ujar dia.

Hemat Hotman, pemberian ‘kesempatan taubat’ untuk terdakwa hukuman mati justru membuat bengkahan yang dapat memperbesar potensi kelonggaran hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, katanya, jika seseorang terdakwa hukuman mati mendekam di penjara selama 10 tahun dengan dalih untuk melihat perubahan sikapnya, bukan tidak mungkin dugaan Hotman, yang bersangkutan membeli surat kelakuan baik demi lolos dari eksekusi.

“Ya nanti bakal mahal surat berkelakuan baik ke kepala lapas penjara daripada dihukum mati huh,” katanya sambil geleng-geleng kepala.

KUHP baru ini menurut Hotman, merupakan sebuah ‘kemubaziran’ dalam dunia hukum Indonesia.

“Jadi apa artinya gitu loh sudah persidangan, sudah divonis sampai pk hukuman mati tapi tidak boleh dihukum mati. Harus menunggu 10 tahun untuk melihat apakah mental orang ini beruba menjadi berkelakuan baik,” tutur dia.***