Prakarsa baru yang digagas Biden untuk mengajak negara Asia bergabung dalam forum perdagangan itu diberi nama Indo-Pacific Economic Framework, IPEF, atau Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasifik.
Menurut Mireya Solis, peneliti senior dan direktur dari Pusat Studi Kebijakan Asia Timur di Brookings Institution di DC, berbeda dari persetujuan perdagangan dan investasi yang tradisional, hasil perundingan negara-negara peserta ini nantinya akan berbentuk sebuah “persetujuan eksekutif.”
“Dan kini mereka meluncurkan Kerangka Kerja Ekonomi Indo Pasifik yang akan berbeda dari berbagai segi. Salah satunya adalah, tidak akan ada perundingan akses pasar yang berarti penghapusan tarif tidak menjadi bagian dari perundingan ini. Perbedaan lainnya dengan TPP, kerangka kerja ini tidak akan diratifikasi oleh Kongres, jadi ini sebuah persetujuan eksekutif yang berarti akan lebih mudah dirundingkan, Anda tidak perlu mengatasi hambatan pemungutan suara di Kongres. Tetapi hal ini juga berarti pemerintahan AS di masa depan bisa secara mudah meninggalkannya. Jadi hal itu menjadi keprihatinan para peserta, apakah prakarsa ini akan langgeng?,” ujar Solis.
Tetapi prakarsa baru ini akan disusun berdasarkan antisipasi masa depan ekonomi dunia, serta memperhatikan isu-isu yang relevan, seperti misalnya e-commerce atau perdagangan elektronik, masalah mata rantai pasokan, dan ekonomi yang ramah lingkungan.
Kembali Mireya Solis, “Misalnya ekonomi digital, semakin banyak ekonomi dan masyarakat yang beroperasi berdasarkan platform digital, dan itulah sebabnya sejumlah persetujuan perdagangan digital dirundingkan, karena ini benar-benar pusat gravitasi dari ekonomi di masa depan, banyak ekonomi akan menjadi terdigitalisasi. Nilai dari proposal ini, seperti memiliki pendekatan yang terkoordinasi secara baik dalam ekonomi digital, memberdayakan kebebasan aliran data, hal-hal seperti inilah yang dibahas dan sangat penting.”
Untuk mengetahui bagaimana sambutan negara-negara Asia, khususnya Indonesia atas prakarsa AS ini, VOA menghubungi Rocky Intan, pakar dan peneliti ekonomi politik di CSIS Jakarta.
“Indonesia semangat utamanya adalah mendukung kembalinya engagement (keterlibatan) Amerika Serikat di kawasan because this is a welcome return to normal after the abrupt exit of the US from the Transpacific Partnership in the first day of President Trump (karena ini merupakan pemulihan ke situasi normal yang disambut hangat setelah AS eksit mendadak dari TPP pada awal masa jabatan Presiden Trump), itu yang pertama. Yang kedua perlu digaris bawahi Indonesia setuju bersama dengan fourteen countries in the Indo Pacific that agreed to negotiate, not the agreement itself because there is no agreement yet, agreed to the framework of the IPEF, apa aja isunya, the scope of negotiations or discussions, supply-chain cooperation, climate and labor standards (lingkup perundingan atau diskusi, kerja sama rantai pasokan, standar iklim dan tenaga kerja),” ujarnya.
Pemerintahan Biden ingin melangkah lebih cepat dalam mencapai persetujuan berdasarkan kerangka kerja ekonomi Indo Pasifik ini. Tenggat waktunya adalah pertemuan APEC pada November tahun depan yang akan berlangsung di AS. Bagi Solis, ini merupakan sasaran yang terlalu ambisius mengingat kompleksitas dari isu-isu yang harus digeluti para perundingnya. [jm/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.