redaksiharian.com – Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Taufiek Bawazier menjelaskan, biaya mobil listrik paling besar di baterai .
Namun, mahalnya biaya baterai dapat ditekan jika perusahaan otomotif global membuat perusahaan patungan untuk mengelola hilir nikel sampai ke baterai.
“Kalau yang sekarang ini kami dorong pabrik otomotif EV, seperti VW dan Stellantis . Jadi bikin dulu (pabrik otomotif) di sini tetapi juga punya pabrik baterai , minimal joint venture bangun sampai ke baterai ,” ujar Taufiek dikutip dari Kontan, Minggu (11/6/2023).
Menurutnya, saat ini industri hilirisasi nikel yang memproduksi bahan baku baterai kendaraan listrik masih sedikit.
Dari 34 smelter yang sudah beroperasi, baru 4 smelter yang masuk ke tahap hilirisasi memproduksi MHP sebagai salah satu bahan baku baterai .
“Kita perlu membalikkan situasi dengan masuk ke industri yang lebih hilir dan perlu dukungan komisi VII DPR RI karena memerlukan investasi yang besar,” ujarnya.
Berdasarkan data Kemenperin, smelter nikel hidrometalurgi yang sudah beroperasi ada 3 smelter yakni milik PT Huayue Nickel Cobalt, PT QMB New Energy Material, PT Halmahera Persada Lygend. Sedangkan 1 smelter nikel milik PT Kolaka Nickel Indonesia sedang dalam proses feasibility studies.
Taufik menjelaskan lebih lanjut, untuk Industri Nikel berbasis hidrometalurgi sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik (EV) baru mencapai produksi MHP dengan kapasitas produksi 915.000 ton per tahun.
“Ini bisa dimanfaatkan paling tidak setelah pabrik baterai kita cukup kuat, kita bisa supply bahan baku nasional ke dalam eksostem EV di dalam negeri,” ujarnya.
Berdasarkan hitungan Kementerian Perindustrian, kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik di 2025 dibutuhkan 25.133 ton, kemudian di 2030 sebesar 37.699 ton, dan di 2035 sebanyak 59,506 ton.
Perhitungan ini berdasarkan aturan praktis atau rule of thumb, daya baterai yang dibutuhkan untuk kendaraan listrik roda dua sekitar 1,44 KWh dan kendaraan listrik roda empat 60 KWh. Adapun masing-masing KwH dibutuhkan nikel sekitar 0,7 kg, Mangan 0,096 kg, dan Kobalt 0,096 kg.
“Semua bahan baku ada di Indonesia sekitar 93 persen, di mana 7% lithium perlu impor. Jadi di sini kita perlu membalikan situasi harus bangun di dalam negeri penguatan kemampuan dalam negeri karena punya bahan baku itu semua,” tegasnya.
Lebih lanjut Taufik menjelaskan, ekspor nikel di Indonesia masih didominsasi oleh feronikel sebanyak 5,7 juta ton dengan nilai US$ 13 miliar pada 2022. Adapun ekspor produk hilir misalnya stainless steel HRC sebesar US$ 4 miliar.
“Artinya ekspor nikel dari Indonesia didominsasi oleh produk yang belum sampai ke tingkat yang lebih hilir,” terangnya. (Arfyana Citra Rahayu/Kontan)
Menilik Beragam Teknologi di Pameran Khusus Kendaraan Listrik PERIKLINDO Electric Vehicle Show 2023
Privacy Policy
We do not collect identifiable data about you if you are viewing from the EU countries.For more information about our privacy policy, click here