Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika Jenderal Mark Milley dalam lawatannya ke kawasan Indo pasifik, termasuk Indonesia hari Minggu lalu, menyatakan lima tahun belakangan ini, militer China semakin agresif dan berbahaya. Dia mencatat terjadinya sejumlah pencegatan yang dilakukan jet tempur dan kapal perang China di kawasan Indo-Pasifik ketika kehadiran militer Amerika dan sekutunya di kawasan itu.
Mengamini pernyataan Milley itu, Pengamat pertahanan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Haripin Kepada VOA, Selasa (26/7) membenarkan semakin berkembang pesatnya kekuatan China di kawasan Indo Pasifik, termasuk Laut Cina Selatan. Menurutnya dibandingkan 14 tahun lalu, ada lonjakan kekuatan militer China dari sisi postur, penempatan pasukan dan kemampuan alutsistanya.
Pada 1990-an, kapal patroli dan nelayan China “hanya” memancing reaksi negara-negara tetangga. Tapi di awal 2000-an, kapal angkatan laut China makin berani hadir di Laut Cina Selatan.
Haripin memahami kekhawatiran Amerika ketika China berhasil membangun pangkalan militer di luar wilayahnya, seperti di Afrika. Ini karena China telah mempunyai kemampuan ekonomi, politik dan diplomasi untuk bisa mengajak negara lain bekerjasama.
Selain itu, China juga sudah mempunyai teknologi pembangunan kapal induk dan pangkalan militer sendiri, sehingga membuat militernya dapat memperluas daya jelajah mereka. Kedua hal ini sebelumnya menjadi dominasi Amerika dan NATO. Terlebih ketika China juga akan membangun pangkalan militer di Kepulauan Solomon.
Kebijakan China terhadap Taiwan juga makin agresif karena Presiden Taiwan saat ini lebih anti-China dan secara eksplisit berani menyatakan keinginannya untuk melepas diri dari China.
Di samping pendekatan militer, China juga menawarkan pendekatan ekonomi yang dengan kelebihan dan kekurangannya banyak diterima oleh negara lain. Intinya, menurut Haripin, tengah terjadi perebutan pengaruh antara Amerika dan China di kawasan Indo Pasifik.
Contoh paling nyata tampak dengan polarasi di dalam ASEAN. Ada negara yang condong ke Beijing ada yang netral, atau secara terang-terangan memihak pada Amerika. Namun situasi ini dinamis dan fluktuatif. Tiga negara ASEAN yang pro-China adalah Myanmar, Laos dan Vietnam. Sementara Indonesia dinilai masih netral karena sangat terbuka dengan bantuan atau kerjasama ekonomi dengan China, tetapi untuk sisi pertahanan lebih terbuka kepada Amerika.
“Saya pikir Cina akan berusaha memaksimalisasi negara-negara yang memang bersikap ramah ke Beijing dan akan berusaha merayu atau menarik perhatian negara-negara yang masih berada di titik netral atau masih memiliki hubungan yang terbatas dengan Cina. Di sisi lain, dia (Cina) akan terus menunjukkan ketegasannya di level internasional. Misalkan dalam isu Laut Cina Selatan atau isu Taiwan,” ujar Haripin.
Sebagai negara berdaulat yang menjunjung aturan hukum internasional, Indonesia tegas Haripin, harus senantiasa meminta Amerika dan China untuk menghormati hukum internasional.
Diwawancarai terpisah, pengamat hubungan internasional dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Gilang Kembara mengatakan Amerika tahun ini sudah banyak mengeluarkan pernyataan yang mengingatkan semakin agresif dan koersifnya tindakan China di kawasan Indo-Pasifik.
Dia mencontohkan kasus penyinaran sinar laser ke pesawat tempur Australia, ancaman China terhadap Taiwan dan ketegangan di Laut Cina Selatan.
“Bagi saya, ada peningkatan insekuritas dari China yang merasa wilayahnya semakin dimasuki oleh pengaruh-pengaruh dari negara-negara Barat. Kita lihat militer Amerika Serikat sudah banyak merangkul tidak hanya sekutu-sekutu mereka, seperti Jepang dan Korsel, tetapi juga merangkul negara-negara yang non-blok, seperti Indonesia, Malaysia,” tutur Gilang.
Sebaliknya, lanjut Gilang, China lebih mendekatkan diri ke negara-negara Indo pasifik melalui faktor ekonomi. Dia mencontohkan kerjasama ekonomi dalam Inisiatif Jalan Sutera dan Insiatif Pembangunan Global. Sejak tahun lalu, China melakukan pendekatan yang bersifat lebih kepada politik dan keamanan termasuk Insitif Keamanan Global.
Hal itu menunjukkan China ingin lebih bermain di sektor politik dan keamanan dengan berbagai negara di Indo Pasifik, seperti perjanjian antara China dan Solomon. Dalam kunjungan Menteri Luar Negeri Wang Yi ke beberapa negara Pasifik baru-baru ini , China juga menawarkan bentuk kerjasamanya dengan Pasifik ke beberapa negara kepulauan di kawasan itu yang tergabung dalam Pasifik Islands Forum atau PIF (Forum Negara-negara Kepulauan Pasifik) tapi kerjasama ini gagal karena tidak ada konsensus di kalangan negara-negara PIF.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah berulangkali menyerukan agar kawasan Indo-Pasifik tidak didominasi oleh pengaruh satu negara saja. Indonesia menyadari pentingnya kawasan Indo-Pasifik bagi perekonomian dunia namun tanpa stabilitas, perdamaian dan penghormatan hukum internasional maka potensi besar di kawasan ini dinilai tidak dapat dimanfaatkan demi kepentingan bersama. [fw/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.