Ratusan ribu warga Sri Lanka mengepung dan merangsek ke kediaman Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe Sabtu lalu (9/11) di Galle Face Green di ibu kota Kolombo, dan terus bertahan hingga hari Senin ini (11/7), meskipun kedua pemimpin itu sudah menyampaikan kesiapan mereka untuk mengundurkan diri Rabu nanti (13/7).
Inilah puncak kemarahan warga karena berlarut-larutnya krisis ekonomi yang memicu kenaikan harga kebutuhan pokok dan kelangkaan BBM, dan mendorong inflasi hingga 40% Juni lalu.
Mengantisipasi terjadinya pergolakan politik akibat krisis ekonomi ini, Kedutaan Besar Republik Indonesia KBRI di ibu kota Kolombo sejak awal Maret lalu telah bergerak cepat meningkatkan pemantauan kondisi 340 warga negara Indonesia di seluruh negara itu dan melangsungkan pertemuan dengan sebagian diantara mereka.
Diwawancarai melalui telpon Senin (11/7) pagi, Konselor KBRI di Kolombo Heru Prayitno mengatakan sejauh ini “belum ada rencana untuk mengeluarkan pengumuman evakuasi wajib karena situasi masih terkendali dan dikelola dengan baik, WNI kita juga baik-baik saja dan dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup secara layak, dan yang paling penting WNI sendiri memandang evakuasi bukan pilihan saat ini.”
Namun demikian ia menggarisbawahi kesiapan KBRI di Kolombo “untuk memfasilitasi, mendukung dan membantu sepenuhnya jika ada WNI yang memutuskan untuk meninggalkan Sri Lanka untuk sementara waktu.” KBRI, tambahnya, juga senantiasa memonitor dan berkomunikasi lewat WhatsApp Group, pengumuman di situs KBRI, pertemuan langsung maupun tidak langsung, serta menyebarluaskan nomor telpon atau hotline darurat jika diperlukan. Sebagian besar dari 340 WNI yang bekerja dan menetap di Sri Lanka berada ibu kota Kolombo.
Sejauh ini WNI di Sri Lanka diminta untuk menjauhi dan tidak terlibat dalam aksi-aksi unjukrasa, serta membatasi perjalanan kecuali untuk hal-hal yang esensial.
Salah Urus
Sejumlah ekonom mengatakan krisis ekonomi di Sri Lanka bermula dari salah urus (mismanagement) negara itu dalam pembangunan infrastruktur besar-besaran tanpa perhitungan matang atau dorongan mengubah sistem pertanian tradisional ke organik, korupsi dan kegagalan membayar utang.
Pariwisata, yang menjadi sektor penting dalam pertumbuhan ekonomi negara itu telah mati suri karena pandemi dan kekhawatiran soal keamanan pasca serangan teror tahun 2019 yang menewaskan 260 orang. Jatuhnya mata uang Sri Lanka hingga 80% – atau berarti 360 rupee per 1 dolar Amerika – membuat impor menjadi lebih mahal dan semakin memperburuk inflasi yang sudah tidak terkendali. Menurut data resmi, harga makanan pokok telah naik 57%.
Sri Lanka, yang memiliki utang sebesar 51 miliar dolar, tidak dapat membayar bung atas pinjamannya, apalagi mengurangi jumlah uang yang dipinjam. Negara berpenduduk 22 juta jiwa ini telah menangguhkan pembayaran pinjaman luar negeri bernilai sekitar tujuh miliar dolar yang jatuh tempo tahun ini, dari 25 miliar dolar yang harus dilunasi pada tahun 2026.
Walhasil Sri Lanka yang merupakan negara tropis dan biasanya tidak pernah kekurangan pangan, kini warganya mulai kelaparan. Program Pangan Dunia WFP mengatakan hampir sembilan dari sepuluh keluarga tidak makan sebagaimana mestinya atau menahan diri untuk tidak makan, sementara tiga juta warga menerima bantuan kemanusiaan darurat.
Semakin banyak pula warga Sri Lanka yang mengupayakan untuk mendapatkan paspor agar dapat pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan. Sementara pegawai negeri sipil (PNS) diberi libur ekstra selama tiga bulan guna memberi mereka waktu untuk menanam tanaman yang dapat dikonsumsi keluarga mereka.
Ekonom CORE: Pemerintah Sri Lanka Tak Siap Antisipasi Gagal Bayar
Diwawancarai terpisah, ekonom di Center for Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah, mengatakan sebenarnya banyak negara yang juga dililit krisis ekonomi dan mengalami kesulitan membayar utang, tetapi Sri Lanka adalah yang terparah.
“Yang unik dari kasus Sri Lanka, dan menjadi pembelajaran bagi kita semua, adalah ketidaksiapan pemerintahnya mengantisipasi kegagalan pembayaran utang dan kebangkrutan ini sehingga tidak bisa melindungi perekonomian dan kebutuhan masyarakat. Ini diawali dari salah urus negara dan salah urus pengelolaan utang. Mereka berutang untuk kegiatan atau pembangunan yang tidak produktif. Mereka tidak memiliki struktur ekonomi yang kuat sehingga akhirnya tidak mampu membayar utang kembali,” jelasnya.
Sri Lanka menggantungkan harapan terakhir pada Dana Moneter Internasional IMF, yang ironisnya tidak memberikan dana talangan atau bailout secepat ketika menangani krisis ekonomi Yunani pada Juni 2013 lalu. “Ini dikarenakan struktur ekonomi Yunani masih lebih kuat dari Sri Lanka dan ia didukung oleh Eropa karena kegagalan ekonomi Yunani berarti kegagalan ekonomi Eropa. Yunani di-back up Prancis dan Jerman yang mati-matian membela ekonomi Yunani, tetapi Sri Lanka tidak ada. Memang ada bantuan dari India, tetapi tidak cukup kuat.” [em/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.