Lili Pintauli Siregar, satu-satunya perempuan yang duduk di jajaran pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023, terjerat kasus hukum. Belum lagi masa jabatannya berakhir, Lili mengundurkan diri setelah muncul dugaan bahwa ia telah melakukan pelanggaran etik sebagai pimpinan di lembaga anti rasuah tersebut.
Dewan Pengawas KPK telah menggugurkan sidang kode etik atas Lili karena ia telah mengundurkan diri.
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera yang juga sekaligus aktivis antikorupsi Bivitri Susanti kepada VOA, Rabu (13/7), menyesalkan keputusan Dewan Pengawas. Adanya penafsiran bahwa sidang kode etik tidak perlu dilakukan karena yang bersangkutan sudah mengundurkan diri merupakan tafsir yang keliru. Terutama, tambahnya, karena sedianya dugaan pelanggaran kode etik itu dibuktikan terlebih dahulu. Meskipun nantinya KPK tidak dapat menjatuhkan sanksi karena Lili sudah mengundurkan diri dari jabatannya, tetapi KPK telah menunjukkan tanggung jawab kepada masyarakat dengan membuktikan apakah Lili melanggar kode etik atau tidak.
Menurut Bivitri, bukan kali ini saja Dewan Pengawas berlaku longgar terhadap perilaku dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK.
“Dewan Pengawas ini melakukan longgar begini bukan sekali ini. Waktu kasusnya Firli (Ketua KPK Firli Bahuri) yang naik helikopter (saat pulang kampung). Saya melihat Dewan Pengawas bagian dari kekacauan struktur KPK,” kata Bivitri.
KPK Perlu Tegakkan Integritas dan Reputasinya
Hal senada disampaikan pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto, yang mengatakan sidang kode etik terhada Lili justru bertujuan untuk melindungi kepentingan publik, integritas, dan reputasi KPK sendiri. Proses tersebut juga bagian dari edukasi dan penyampaian informasi tentang kampanye pemberantasan korupsi. Jika dalam putusannya nanti Dewan Pengawas menyatakan Lili tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik atau hukum, maka namanya harus direhabilitasi.
Jika memang ditemukan dugaan penerimaan suap dan gratifikasi oleh Lili, lanjut Sigit, maka selama yang bersangkutan masih hidup, kasusnya masih mungkin dibawa ke proses hukum. Artinya, informasi, data, atau bukti dapat tetap ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. KPK atau kepolisian, tambahnya, juga dapat memproses dugaan suap atau gratifikasi yang diterima oleh Lili ketika ia masih menjadi wakil ketua KPK.
“Karena kalau dengan cara seperti itu, bisa diduga sebagai tindakan yang tidak beritikad baik. Karena ketika dia melakukan pelanggaran, menghadapi proses, berhadapan dengan kemungkinan dijatuhi sanksi, lalu seseorang menghindarkan diri atau melarikan diri dari tanggung jawab itu,” ujar Sigit.
Bivitri Susanti mengungkapkan buruknya proses seleksi, sehingga menghasilkan keterwakilan perempuan yang semu. Ia menceritakan banyaknya aktivis perempuan yang sudah sejak lama tidak setuju dengan terpilihnya Lili di jajaran kepemimpinan KPK karena rekam jejaknya yang buruk, terutama sejak bergabung di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Perempuan dan Pemberantasan Korupsi
Diwawancarai secara terpisah, Koordinator kelompok Perempuan Indonesia Antikorupsi Sita Supomo berharap agar dugaan pelanggaran yang dilakukan Lili tidak membuat masyarakat memiliki persepsi buruk terhadap kepemimpinan perempuan, khususnya di KPK.
“Karena yang kena perempuan dan baru pertama kali, kita berharap masyarakat secara luas tidak menilai perempuan (buruk). Karena menurut kami tetap perlu ada perempuan, tidak hanya sekadar dia perempuan, tapi perempuan dengan integritas, kapabilitas, bisa duduk menggantikan (Lili) nanti,” ujar Sita.
Sita sepakat jika perempuan semakin harus dilibatkan dalam upaya pencegahan dan penindakan korupsi. Juga harus ada upaya mengubah persepsi masyarakat bahwa lelaki melakukan korupsi karena tuntutan besar dari perempuan yang menjadi pendampingnya.
Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan pengunduran diri Lili Pintauli Siregar sebagai pimpinan KPK telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo sehingga statusnya bukan lagi sebagai insan KPK.
Dengan demikian, tambahnya, secara otomatis syarat subyektifnya tidak terpenuhi sehingga keputusan Dewas menggugurkan sidang etiknya sudah tepat karena jika dipaksakan tetap bersidang maka justru melanggar ketentuan penegakkan kode etik itu sendiri. [fw/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.