redaksiharian.comJakarta, CNBC Indonesia – Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa pemerintah berencana melarang ekspor emas, lalu mulai pertengahan tahun ini berencana untuk menghentikan ekspor komoditas tambang mentah lainnya seperti konsentrat tembaga, bauksit hingga timah.

Keputusan ini diambil untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, menyusul kesuksesan hilirisasi komoditas nikel. Sejak ekspor bijih nikel dilarang pada 2020, Presiden menyebut nilai tambah bagi negara ini melonjak menjadi US$ 30 miliar dari sebelumnya “hanya” US$ 1,1 miliar saat Indonesia mengekspor bijih nikel.

Lalu bagaimana kondisi aktual saat ini terkait hilirisasi emas?

Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba) Irwandy Arif menyebutkan bahwa saat ini Indonesia telah memiliki hasil tambang yang sudah melewati tahap pemurnian, salah satunya adalah emas.

Kondisi aktual di lapangan saat ini untuk komoditas emas sendiri sejatinya telah melalui proses pemurnian memiliki kadar mencapai 99,99%. Selain itu komoditas lain yakni timah, juga sudah memiliki kandungan 99,99% logam juga.

Sebagian besar emas di RI dimurnikan oleh anak usaha perusahaan tambang BUMN Aneka Tambang (ANTM), Logam Mulia, dengan pabrik yang beroperasi di Pulo Gadung.

Emas batangan ini yang kemudian diperjual belikan baik itu secara domestik atau diekspor ke luar negeri.

Lalu hilirisasi emas seperti apa yang dimaksud Jokowi?

Jokowi tidak secara rinci menyebut end product apa yang diperbolehkan atau diharuskan dalam hilirisasi emas. Apabila hanya sebatas hingga logam emas, mayoritas penambang di Indonesia telah melakukan kewajibannya, baik itu dilakukan sendiri atau bekerja sama dengan Logam Mulia.

Namun, produk akhir emas sendiri tidak hanya dalam bentuk emas batangan. Bahkan, porsi terbesar permintaan emas global adalah dalam bentuk perhiasan, lalu diikuti dengan emas untuk keperluan investasi, emas sebagai cadangan bank sentral yang umumnya berbentuk logam batangan dan terakhir sebagian kecil digunakan untuk keperluan teknologi.

Di sektor teknologi emas secara umum dan optimal digunakan untuk berbagai kepentingan termasuk telekomunikasi, komputer, sistem pertahanan, peralatan medis hingga misi antariksa.

Namun, bisa saja maksud Jokowi untuk melarang ekspor emas ditujukan agar cadangan emas milik Bank Indonesia dapat ditingkatkan, mengingat porsinya saat ini relatif kecil dibandingkan dengan negara ekonomi utama dunia lain.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli mengatakan Indonesia berada di urutan ke-45 negara yang menyimpan devisa dalam bentuk emas.

Rizal menambahkan, negara lain lebih banyak dalam menyimpan devisa negara dalam bentuk emas. Seperti yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat yang memiliki cadangan emas sebagai devisa terbanyak di dunia sebesar 8,1 ribu ton.

Diikuti oleh negara Jerman yang memiliki emas sebanyak 3,3 ribu ton. Juga beberapa negara lain seperti Italia, Perancis, Rusia, China, Swiss dan Jepang.

Namun masih belum dapat dipastikan apa niatan utama Jokowi sebelum aturan rinci terkait larangan ekspor dan hilirisasi emas diterbitkan.

Meski demikian sejumlah pihak dari kalangan industri menyambut positif dan mendukung arahan Jokowi terkait hilirisasi.

Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas menyebut terkait hilirisasi perlu dilihat secara spesifik untuk masing-masing mineral dan tidak bisa menggeneralisasi semuanya sekaligus.

Tony Wenas juga menegaskan bahwa saat ini ekspor emas yang dilakukan oleh perusahaan bukan dalam bentuk bijih melainkan sudah berbentuk logam dan menyebut bahwa itu sudah produk akhir dari industri tambang.

“Industri yang lebih hilir lagi yang perlu kita pikirkan supaya muncul di dalam negeri,” ungkap Tony Wenas kepada CNBC Indonesia TV.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur & Chief Investor Relations PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) Herwin Hidayat yang menyebut BRMS telah menjual emasnya kepada dua pihak secara domestik yakni Logam Mulia dan perusahaan pemurnian emas di Surabaya.

TIM RISET CNBC INDONESIA