Akhir Juni lalu, Presiden Joko Widodo berkunjung ke Ukraina dan Rusia dengan harapan bisa membuka jalan untuk terciptanya perdamaian di antara kedua negara yang sedang bertikai. Namun, Jokowi mengakui sulit baginya untuk bisa mempertemukan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Presiden Rusia Vladimir Putin duduk dalam satu meja untuk membicarakan solusi dari konflik yang kini tengah melanda.
“Saat saya ke Ukraina, kemudian ke Rusia, ketemu Presiden Zelenskyy selama 1,5 jam, saya berbicara juga dengan Presiden Putin 2,5 jam. Saya melihat, saya sebetulnya ingin agar ada ruang dialog, tapi saya lihat di lapangan sulit, untuk mempertemukan dalam sebuah ruang dialog antara Presiden Putin dan Presiden Zelensky,” ungkap Jokowi saat memberikan pengarahan kepada Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, di Jakarta, pada Selasa (23/8).
Melihat respons dari kedua pemimpin yang tampak menolak untuk dipertemukan dalam satu forum, Jokowi mengungkapkan bahwa ia lalu membelokkan topik pembicaraan dengan kedua pemimpin tersebut ke arah krisis pangan. Ia menyampaikan pada Putin maupun Zelenskyy bahwa dampak yang dihasilkan dari perang yang tengah berkecamuk tersebut telah terasa di mana rantai pasokan global kini terganggu, sehingga kondisi krisis pangan yang telah terjadi menjadi memburuk.
Dalam pembicaraan tersebut, Jokowi mengatakan bahwa Presiden Zelensky menyatakan terdapat sekitar 77 juta ton stok gandum yang tersimpan di negaranya. Kemudian, Presiden Putin juga menyampaikan stok gandum yang tersedia di Rusia mencapai 130 juta ton.
“Artinya total dua negara itu sudah 207 juta. Kita ini makan beras hanya 31 juta ton per tahun. Ini 207 juta ton tidak bisa keluar. Bapak Ibu bayangkan, negara-negara yang mengimpor dari sana terutama Afrika betul-betul saat ini berada pada kondisi yang sangat sulit,” tambahnya.
Jokowi menjelaskan bahwa akibat perang yang tidak berkesudahan telah membuat food price index semakin berada pada level yang tidak baik. Ia mencontohkan, krisis pangan yang terjadi di 2008 menjadikan food price index berada di kisaran 131,2 poin. Kemudian krisis pangan di tahun 2012 menjadikan food price index berada di 132,4 poin. Lalu pada saat ini, nilainya semakin telah anjlok menjadi 140,9 poin.
“Mengerikan. Awal dulu hanya enam negara yang membatasi ekspor pangannya, sekarang 23 negara, semuanya menyelamatkan negaranya masing-masing. Ya semestinya emang seperti itu,” tuturnya.
Meski begitu, Jokowi mengaku bersyukur pada saat dunia diliputi krisis pangan, Indonesia mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) yang menyatakan bahwa sistem ketahanan pangan tanah air cenderung baik. Selain itu, Indonesia dinilai sudah mencapai status swasembada beras sejak 2019.
“Di sisi lain, negara lain kekurangan pangan, kita justru dinyatakan sudah swasembada beras dan sistem ketahanan pangan kita, baik. Hal-hal seperti ini yang (membuat) kita harus waspada, iya, kita harus hati-hati iya, tapi jangan memunculkan sebuah pesimisme. Tetap harus optimis. Karena setiap kesulitan pasti ada peluang di situ, pasti,” tegas Jokowi.
Apakah Misi Perdamaian Jokowi Gagal?
Pengamat Hubungan Internasional Teuku Rezasyah menilai misi perdamaian yang dibawa oleh Jokowi ketika mengunjungi kedua negara tersebut tidak bisa dikatakan gagal walaupun Jokowi tidak bisa menginisiasi pertemuan atau dialog antara Putin dan Zelensky.
Reza menjelaskan, misi untuk memelihara perdamaian merupakan amanat konstitusi yang harus dilaksanakan oleh Indonesia. Meski begitu, menurutnya, Jokowi sejauh ini telah membangun sebuah framework dalam menghubungkan kedua negara tersebut.
Framework yang menurutnya dibangun oleh Jokowi adalah bahwa kedua pemimpin negara di wilayah Eropa timur tersebut merupakan bagian dari penyelesaian, dan bukan merupakan bagian dari masalah.
Menurut Reza, isu krisis pangan yang disampaikan oleh Jokowi baik kepada Zelensky maupun Putin sangat tepat, karena krisis tersebut merupakan dampak dari perang yang belum selesai sejak dimulai pada akhir Februari lalu. Selain itu, Reza berpendapat bahwa Putin dan Zelensky harus mengerti bahwa perang tersebut telah merusak tatanan keamanan internasional, di mana membuat negara-negara lain menjadi terpecah belah karena menciptakan kubu-kubu yang menyatakan dukungan berbeda pada dua negara yang tengah berkonflik tersebut.
“Untuk itu, kalau itu yang beliau sampaikan, itu sudah berhasil karena framework-nya sudah terbangun. Ini menyadarkan keduanya bahwa ini ada dampak yang anda terima dan Pak Jokowi ini datang dengan framework beliau sebagai tokoh ASEAN, sebagai tokoh Asia Pasifik, tokoh OKI dan tokoh GNB,” ungkapnya kepada VOA
“Jadi ini adalah pengalaman yang akan dibagikan kepada negara-negara yang masuk ke dalam grup tadi. Jadi karena Pak Jokowi yang datang, maka framework-nya itu dimengerti oleh negara-negara lain, bahwa beliau sudah mewakili grup-grup yang tadi, dan hasilnya yang tadi tolong dilanjutkan oleh anda-anda apakah itu secara bilateral atau secara kolektif,” jelasnya.
Jika menilik kerangka berpikirnya Lao Tse dari China, ujar Reza, untuk menciptakan ruang dialog harus ada lima tahapan yang terpenuhi dengan baik, yakni thought, words, action, character dan habit. Reza melihat Jokowi sudah menjalankan tiga tahapan awal, yang seharusnya tahapan lainnya dilanjutkan oleh negara lain.
“Jadi saya menduga, nanti dengan rasa percaya diri Pak Jokowi yang tinggi tersebut, dan beliau sudah mengundang Ukraina untuk datang ke KTT G20. Harapan saya ruang dialog itu semakin terbuka lebar. Dan untuk itu kita harapkan, di mana Putin datang, mungkin Zelensky tidak datang, tapi kan yang namanya message itu perlu tersampaikan kepada publik, bahwa mereka ini lelah dengan perang yang tidak berkesudahan ini. Dan ini menyadarkan keduanya bahwa ini gak akan ada selesainya, dan potensi untuk meluasnya juga semakin besar,” pungkasnya. [gi/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.