Amerika hari Rabu (27/7) mengatakan “hanya masalah waktu” sebelum terjadi kecelakaan besar di kawasan Indo-Pasifik ketika militer China melanjutkan apa yang disebutnya sebagai perilaku provokatif, dan bahwa Amerika sedang mencari jalur komunikasi terbuka dengan China untuk mencegah terjadinya salah perhitungan.

Peringatan keras itu disampaikan menjelang pembicaraan Presiden Amerika Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping melalui telpon, yang dijadwalkan berlangsung hari Kamis (28/7).

Pejabat-pejabat senior Amerika dan anggota Kongres Selasa lalu (26/7) merinci penilaian mereka bahwa China memang merupakan tantangan terbesar bagi keamanan nasional Amerika dan stabilitas di kawasan.

Wakil Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik Jung Pak mengatakan, “Klaim maritim RRT (China.red) yang ekspansif dan melanggar hukum di Laut China Selatan, serta tindakan provokatifnya untuk menerapka klaiim itu, telah berkontribusi pada ketidakstabilan di kawasan.

Dalam diskusi di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washington DC, Pak mengutip tiga insiden dalam beberapa bulan terakhir ini, ketika kapal-kapal China menantang penelitian kelautan dan kegiatan eksplorasi energi di zona ekonomi eksklusif Filipina di Laut China Selatan.

Pejabat tinggi Pentagon untuk urusan Asia juga menyampaikan pandangan serupa. Asisten Menteri Pertahanan untuk Urusan Keamanan Indo-Pasifik Ely Ratner mengatakan, “Dalam pandangan saya, perilaku agresif dan tidak bertanggungjawab ini merupakan salah satu ancaman paling signifikan terhaap perdamaian dan stabilitas di kawasan saat ini, termasuk di Laut China Selatan.”

Asisten Menhan AS urusan Indo-Pasifik, Ely Ratner

Asisten Menhan AS urusan Indo-Pasifik, Ely Ratner

Lebih jauh Ratner mengatakan ada “peningkatan tajam perilaku tidak profesional dan tidak aman” kapal dan pesawat militer China di kawasan itu. Ia merujuk pada pesawat tempur J-17 China yang secara berbahaya mencegat pesawat pengintai Australia di wilayah udara internasional, di atas Laut China Selatan, pada Mei lalu.

“China terus memperkuat posisinya di sepanjang perbatasan yang disengketakan dengan India, dan lebih jauh ke utara di Selat Taiwan. Di setiap wilayah ini, RRC mengubah status quo,” tambah Ratner.

China menegaskan klaim territorial atas sebagian besar Laut China Selatan, termasuk hak untuk menarik garis pangkal dan menutup wilayah perairan pedalaman di mana terdapat empat kelompok kepulauan dan fitur maritime lain yang tersebar secara geografis.

Amerika menolak klaim maritime pemerintah China yang meliputi dan melanggar hukum di Laut China Selatan.

Awal pekan ini Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan masalah Laut China Selatan harus ditangani oleh negara-negara di kawasan itu sendiri karena ini bukan “taman safari” bagi negara-negara di luar kawasan itu, atau “arena pertempuran” bagi kekuatan besar untuk saling bersaing.

“Kekuatan non-regional tertentu terus meningkatkan masukan mereka atas kawasan itu, dan dengan sengaja meningkatkan konflik dan memicu ketegangan,” ujar Wang dalam sambutan pembukaan acara virtual yang menandai peringatan 20 tahun penandatanganan Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan.

Pada tahun 2002, China dan ASEAN menandatangani “Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan” yang tidak mengikat, atau dikenal sebagai DOC. Namun selama bertahun-tahun China dan blok Asia Tenggara belum mampu mencapai kode etik yang mengikat secara hukum untuk menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan. [em/jm]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.