redaksiharian.com – Bank Indonesia (BI) dipastikan akan mati-matian menjaga nilai tukar agar tidak melewati level psikologisnya Rp 15.000 per dolar AS.

S&P Global Ratings, dalam paparan webinar Spotlight on Emerging Market, Kamis (8/9/2022) mengingatkan bahwa potensi gelombang gagal bayar akibat gejolak rupiah di korporasi hampir tidak ada, kecuali jika depresiasi rupiah tak terkendali melebihi Rp 15.000 per dolar AS.

Piter A. Redjalam, Direktur Riset CORE Indonesia, mengungkapkan bahwa potensi pelemahan rupiah sudah pasti ada karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan mendorong inflasi hingga 6-7%.

“Secara teori purchasing power, inflasi pasti akan menurunkan melemah rupiah. Namun, BI tidak akan diam saja. BI akan melakukan upaya dengan menaikkan suku bunga,” ujar Piter kepada CNBC Indonesia, Jumat (9/9/2022).

Dengan kenaikan suku bunga, aliran modal asing akan masuk dan tekanan bisa terbatas. Selain itu, cadangan devisa hingga Agustus 2022 terpantau mencukupi, yakni sebesar US$132,2 miliar.

“Saya kira rupiah akan mengalami pelemahan tapi masih bisa dikelola oleh BI pada level yang cukup aman. Ya mungkin mendekati kisaran Rp 15.000/US$ atau lewat sedikit dari Rp 15.000/US$, tetapi itu pun akan diusahakan turun di Rp 15.000/US$,” kata Piter.

Piter menambahkan bahwa stabilitas rupiah sebenarnya menjadi segala-galanya bagi BI. Dia yakin BI akan melakukan apapun untuk menekan rupiah agar tidak melewati Rp 15.000 per dolar AS tahun ini.

Namun, Piter memberikan catatan bahwa gejolak politik itu harus bisa diredam karena ini akan memicu investor kabur dari Indonesia. “Yang sekarang demo2 anti ke BBM bisa diredam oleh pemerintah,” papar Piter.

Rully Arya Wisnubroto, Senior Ekonom Mirae Asset Sekuritas, melihat depresiasi rupiah masih dapat diatasi dengan baik. Buktinya, rupiah terdepresiasi secara moderat di bulan Agustus sebesar 0,1% (mom).

“Sementara itu, sejumlah mata uang negara berkembang lainnya terdepresiasi lebih dalam, termasuk Ringgit Malaysia, Peso Filipina, Yuan China, dan Rupee India masing-masing sebesar 0,6%, 1,8%, 2,2%, dan 0,2% (mom). Sepanjang tahun ini, Rupiah adalah salah satu mata uang dengan kinerja terbaik didukung oleh keseimbangan eksternal yang solid,” ungkap Rully dalam laporannya, dikutip Jumat (9/9/2022).

Sejak awal September, lanjut Rully, dolar AS terus terapresiasi terhadap mata uang utama lainnya, termasuk Euro, Poundsterling, dan Yen seiring dengan memburuknya prospek ekonomi global dan kondisi geopolitik.

Alhasil, indeks USD (DXY) menembus level 110 untuk pertama kalinya dalam dua dekade terakhir.

“Kami percaya bahwa volatilitas pasar akan bertahan dalam beberapa bulan mendatang mengingat bank sentral utama, kecuali BOJ, diperkirakan akan terus mengetatkan kebijakan moneter secara agresif untuk memerangi inflasi yang melonjak,” ungkapnya.

Dia tidak khawatir terkait dengan volatilitas rupiah, karena tingkat cadangan devisa Indonesia pada bulan Agustus masih cukup untuk mengantisipasi guncangan lebih lanjut di pasar keuangan, terutama nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak dalam kisaran Rp 14.800 – Rpp 15.200 per dolar AS pada tahun depan. Pergerakan dengan kecenderungan melemah ini dipicu oleh kondisi ketidakpastian global.

Namun, dia mengungkapkan adanya sentimen positif untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Hal itu berkaitan dengan neraca pembayaran yang masih cukup kuat dan persepsi positif kalangan internasional terhadap Indonesia.

Untuk tahun ini, Perry memproyeksikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berada di level Rl 14.500-14.900.

“Faktor negatifnya adalah tentu saja kenaikan suku bunga tinggi baik Fed Fund Rate maupun US Treasury sehingga capital outflow risikonya masih tinggi,” paparnya di DPR RI, Rabu (31/8/2022).