redaksiharian.com – Litbang Harian Kompas terbaru menunjukkan perubahan yang cukup menarik pada elektabilitas para kandidat calon presiden untuk pemilihan umum 2024. Persaingan antara Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo semakin ketat dan panas.

Elektabilitas Prabowo Subianto menunjukkan peningkatan yang cukup berarti ke angka 24,5 persen dibanding Januari 2023 yang hanya di bawah 20 persen.

Sementara elektabilitas Ganjar Pranowo menurun ke angka 22,8 persen dibanding Januari 2023 yang hampir 25 persen.

Sementara itu, elektabilitas Anies Baswedan terbilang stagnan selama tiga bulan terakhir di angka belasan persen. Elektabilitas Anies berada di angka 13,6 persen pada Mei 2023, tak jauh berbeda dengan hasil Januari 2023 lalu.

Menariknya, di kalangan Generazi Z, berdasarkan hasil survei Litbang Kompas yang dilangsungkan dari 29 April sampai 10 Mei 2023, menunjukkan bahwa Prabowo Subianto merupakan sosok yang paling banyak dipilih oleh generasi Z atau warga berusia 17-26 tahun sebagai calon presiden (capres).

Survei menunjukkan, 32,7 persen generasi Z memilih Prabowo sebagai capres bila pemilihan presiden berlangsung pada masa jajak pendapat tersebut dilakukan.

Elektabilitas ketua umum Partai Gerindra itu diikuti oleh Ganjar Pranowo sebesar 24,5 persen; Anies Baswedan 10 persen; Ridwan Kamil 8,5 persen; Sandiaga Uno 2,4 persen; dan Agus Harimurti Yudhoyono 0,6 persen.

Hal menarik lainnya adalah bahwa berdasarkan survei yang sama, terdapat perubahan arah dukungan pemilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Pemilu 2019 pada dua sosok yang masuk bursa calon presiden (capres) mendatang, yakni Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Berdasarkan survei-survei dalam rentang waktu setahun terakhir, mayoritas pendukung Jokowi memang terpantau mendukung Ganjar Pranowo.

Namun demikian, pada periode survei Januari 2023, pemilih Jokowi yang mendukung Prabowo Subianto sebanyak 21 persen, meningkat menjadi 26,2 persen pada survei terbaru Mei 2023.

Sementara untuk Ganjar, dari yang awalnya 61 persen pada survei Januari 2023, turun menjadi 56,3 persen pada survei Litbang Kompas per Mei 2023.

Dan temuan yang tidak kalah penting, berdasarkan survei yang sama, menunjukkan bahwa tingkat kemantapan pemilih ternyata masih tergolong rendah.

Dari semua responden yang disurvei dan sudah menentukan pilihan politiknya jika pemilihan diadakan hari ini (saat survei dilangsungkan), terdapat sekitar 43 persen yang masih belum “mengunci” pilihannya untuk pemilihan tahun depan.

Temuan-temuan dari hasil survei

Tim Litbang Kompas ini tentu menyisakan banyak catatan dan pertanyaan yang harus dijawab oleh salah satu kandidat yang selama ini sering bercokol di puncak survei, yakni Ganjar Pranowo.

Pertama, penguasaan pasar politik pada pemilih muda, generasi Z, oleh Prabowo harus menjadi perhatian utama Ganjar Pranowo dan Tim pemenangannya.

Mengapa? Karena dari ketiga kandidat, Prabowo adalah kandidat yang dari sisi usia paling tua karena terlahir di tahun 1951, sementara Ganjar dan Anies lahir tahun 1968 dan 1969.

Artinya, meskipun ketiga kandidat masuk kategori generasi Baby Boomers, tapi Prabowo adalah kandidat yang paling jauh terpisahkan oleh umur dengan generasi Z.

Dengan kata lain, ada faktor yang bekerja lebih efektif dalam menentukan pilihan generasi Z, selain kedekatan hubungan generasional, yang harus terus dipelajari oleh Tim Ganjar Pranowo, jika ingin menguasai pangsa pasar generasi Z.

Arti lainnya, Prabowo boleh saja dianggap sebagai calon yang paling tua, tapi tidak bisa diremehkan dan jangan pernah dianggap sebagai kandidat yang akan kedaluwarsa di mata pemilih muda.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden adalah contoh nyata bahwa bilangan umur tidak terikat pada generasi tertentu. Kandidat yang dianggap tua boleh jadi bermakna banyak pengalaman alias matang dalam berpolitik, tergantung bagaimana tim dalam menghadirkannya di ruang publik.

Selain itu, Ganjar Pranowo dan tim pemenangannya harus mulai memikirkan ulang strategi dalam mendekati pemilih muda, terutama generasi Z, yang diasumsikan sejauh ini cukup dilakukan dengan aktifitas bersosial media.

Tentu tak bisa dipungkiri bahwa instrumen terbaik untuk menghampiri para pemilih muda adalah media sosial. Namun persoalan nyatanya belum selesai hanya sampai di sana. Apa yang disampaikan atau dipertontonkan di media sosial juga tidak kalah pentingnya.

Rekomendasi teknisnya adalah bahwa ke depan, konten-konten sosial media Ganjar haruslah lebih dari sekadar wara-wiri di depan kamera untuk sekadar memperlihatkan aktifitas sehari-hari, tapi juga harus mengandung pesan-pesan yang benar-benar bersesuaian dengan ketertarikan dan kepentingan generasi muda, utamanya generasi Z.

Lebih dari itu, Ganjar Pranowo harus mengimbangi pendekatan media sosial dengan pendekatan riil, yakni memperbanyak aktifitas riil yang akan mengikatkan dirinya dengan generasi muda secara langsung.

Dengan kata lain, aktifitas dengan kategori “community engagement” haruslah diperkuat, dengan target komunitas-komunitas generasi muda yang memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan opini para pemilih muda di arena politik.

Masalah kedua bagi Ganjar terkait hasil Survei Litbang Kompas adalah tentang pemilih Jokowi yang terbelah, bahkan sebagian justru bergeser menjadi pemilih Prabowo. Tentu ini pekerjaan rumah (PR) yang sangat krusial yang harus segera dijawab oleh Ganjar dan Tim.

Karena, selama ini Jokowi diproyeksikan sebagai “King Maker” yang memperjuangkan Ganjar dalam mendapatkan tiket calon presiden dari PDIP. Jadi akan sangat aneh jika kemudian pemilih Jokowi justru tak sepenuhnya ada di gerbong Ganjar Pranowo.

Menurut hemat saya, dalam beberapa bulan terakhir, Prabowo memang lebih banyak terlihat bersama Jokowi ketimbang Ganjar Pranowo, baik karena posisinya sebagai salah satu menteri Jokowi maupun karena posisinya sebagai kandidat yang acap kali menerima komentar positif dari Jokowi.

Lebih dari itu, Prabowo cukup berhasil memanfaatkan jalur kekeluargaan dengan keluarga Jokowi, baik dengan Gibran maupun dengan Kaesang, dengan tingkat kedekatan yang cukup “mesra”.

Sehingga cukup bisa dipahami mengapa kemudian langkah-langkah Prabowo berimbas positif pada elektabilitasnya di arena pendukung Jokowi.

Selain itu, nyatanya setelah Ganjar mendapatkan dukungan resmi dari PDIP sebagai calon presiden, relawan yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung politik Jokowi belum juga menentukan sikap, sebut saja misalnya Projo.

Walhasil, Ganjar bisa diasumsikan baru mendapatkan pemilih Jokowi yang berada di kantong politik PDIP, tapi belum sepenuhnya menguasai pemilih Jokowi dari basis pemilih non-PDIP, yang banyak dimotori oleh barisan relawan-relawan.

Ini juga PR besar bagi Ganjar. Meraih mayoritas suara di kantong pemilih Jokowi yang non-PDIP adalah salah satu kunci agar Ganjar bisa tetap bertahan di posisi teratas.

Pasalnya, kemenangan Jokowi dalam dua laga elektoral terakhir tidak hanya bergantung kepada pemilih tradisional PDIP, tapi juga pada barisan relawan-relawan Jokowi yang terikat kepadanya secara personal.

Dengan kata lain, Ganjar harus meningkatkan level keterikatannya dengan Jokowi, baik dari sisi kepentingan politik maupun dari sisi kebersamaan di ruang publik.

Tujuannya tentu untuk memberikan kepastian kepada publik pemilih Jokowi bahwa Ganjar adalah kandidat yang memang didukung oleh Jokowi sekaligus diharapkan untuk menggantikanya setelah laga elektoral 2024 nanti.

Pun tak lupa, alasan Ganjar harus benar-benar melekatkan diri kepada Jokowi adalah juga bagian dari langkah strategis untuk meningkatkan kepercayaan Jokowi kepada Ganjar agar saluran pembiayaan politik untuk pemenangan Ganjar dari kantong-kantong ekonomi politik yang mem-back up Jokowi selama ini bisa berpindah ke Ganjar segera.

Dengan begitu, Ganjar bisa segera menambah atau membiayai mesin politiknya sendiri, di luar mesin politik PDIP yang jumlah pemilihnya cenderung sudah terkunci (captive).

Ganjar harus belajar dari sejarah perjalanan politik Jokowi menuju Istana bahwa dukungan mesin politik dari Parpol tidak sepenuhnya bisa diandalkan. Harus ada dukungan non Parpol yang superaktif untuk memastikan bahwa kantong-kantong pemilih di luar simpatisan Parpol bisa digalang/diraih.

Dan mesin non Parpol tersebut dipastikan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Catatan ketiga untuk Ganjar adalah soal kemantapan pemilih. Survei secara umum oleh Litbang Kompas menunjukkan masih ada sekitar 43 persen pemilih yang belum mantap dengan pilihannya.

Ini menunjukkan bahwa ketiga kandidat sebenarnya belum benar-benar bisa mengunci dukungan secara mantap dari barisan pemilihnya.

Berdasarkan survei lembaga survei Charta Politika dari tanggal 3-7 Mei 2023, kemantapan pemilih Prabowo hanya sekitar 53 persen, sementara Anies 68 persen dan Ganjar 69 persen.

Meskipun tingkat kemantapan dari pemilih Ganjar masih terbilang yang tertinggi, tapi angka 69 persen sebenarnya belumlah cukup.

Angka raihan elektabilitas Ganjar memang seringkali tertinggi, tapi angkanya belum konklusif alias belum memastikan kemenangan.

Dengan kondisi itu, kemantapan pemilih yang baru sebesar 69 persen akan semakin mempersulit Ganjar untuk menguasai lapangan pemilih yang ada.

Artinya, temuan ini harus benar-benar menjadi PR besar bagi Ganjar untuk merapatkan barisan di kalangan pemilih sendiri, agar tidak ada pendukungnya yang tercecer ke kandidat lain, hanya karena Ganjar gagal memberikan kepastian bahwa ia adalah kandidat yang tepat, baik saat ini maupun nanti ketika pemilihan datang.

Dan terakhir, bagaimanapun Survei memang bukan hasil final. “It’s not opinion polls that determine the outcome of elections, it’s votes in ballot boxes”, politisi Skotlandia, Nicola Sturgeon. Bahkan suatu ketika, Benjamin Netanyahu pernah berucap, “I always lose the election in the polls, and I always win it on election day”.

Namun hasil survei adalah input yang berharga dalam memastikan kemenangan pada hari pemilihan nanti.

Dengan menjadikan hasil-hasil survei sebagai input dan bahan refleksi politik, kegamangan menuju hari H pemilihan bisa dikurangi dan strategi-strategi yang diambil tidak berdasarkan pertimbangan asumsi dan prasangka, tapi berdasarkan landasan ilmiah yang jauh lebih baik dibanding asumsi dan prasangka.

Artinya, pembelaan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait hasil Survei Litbang Kompas itu kurang bisa diterima dalam dunia politik.

Alasan bahwa terkait elektabilitas Prabowo dan Anies disebabkan karena memulai lebih dulu ketimbang Ganjar adalah alasan yang kurang tepat.

Karena alasan tersebut bisa dimaknai dalam perspektif sebaliknya, yakni PDIP lah yang menjadi penyebab mengapa Ganjar Pranowo terlambat memasuki arena pemanasan karena PDIP mengulur-ulur waktu terlalu lama dalam menentukan calon presiden resminya.