Teheran, Selasa (12/7), mengecam apa yang disebutnya sebagai kebijakan “kontradiktif” Washington, setelah Presiden Joe Biden berjanji untuk menekan Iran menjelang kunjungannya ke negara-negara sekutu AS di Timur Tengah.
Biden berusaha untuk memulihkan kesepakatan nuklir Iran yang ditinggalkan oleh pendahulunya Donald Trump, tetapi menolak untuk mencabut sanksi terhadap republik Islam itu sampai Iran kembali mematuhi kesepakatan tersebut.
Dalam kolom opini untuk Washington Post menjelang kunjungannya pekan ini ke Israel dan Arab Saudi, Biden menyoroti adanya “percepatan program nuklir Iran setelah Trump” mengingkari kesepakatan nuklir yang menurut Biden berhasil.
“Pemerintahan saya akan terus meningkatkan tekanan diplomatik dan ekonomi sampai Iran siap untuk kembali mematuhi kesepakatan nuklir 2015, seperti yang saya tetap siap lakukan,” tulis Biden pada hari Sabtu.
Iran pada hari Selasa mengecam pemerintahan Biden atas apa yang dikatakannya sebagai pendekatan yang tidak konsisten dalam masalah nuklir.
“Penekanan Biden untuk menggelar kebijakan yang memberi tekanan ekonomi dan diplomatik terhadap Iran bertentangan dengan keinginan AS untuk menghidupkan kembali perjanjian 2015,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanani.
Pemerintah AS saat ini “terlepas dari slogan dan klaimnya untuk kembali ke perjanjian … mengambil pendekatan yang sama (dengan pemerintahan sebelumnya) karena melanjutkan sanksi dan tekanan ekonomi”, katanya.
Pemerintahan Biden telah terlibat dalam pembicaraan kesepakatan nuklir Iran sejak April 2021. Pembicaraan itu bertujuan mengembalikan AS ke kesepakatan nuklir itu, termasuk melalui pencabutan sanksi terhadap Iran dan memastikan kepatuhan penuh Teheran terhadap komitmennya.
Tetapi negosiasi putus-sambung yang diadakan di ibu kota Austria, Wina, terhenti sejak Maret karena ada beberapa masalah yang belum terselesaikan antara AS dan Iran.
Pada akhir Juni, Qatar menjadi tuan rumah pembicaraan tidak langsung antara AS dan Iran dalam upaya untuk mengembalikan pembicaraan Wina ke jalurnya, tetapi diskusi itu bubar setelah dua hari tanpa terobosan.
Dalam kolom opininya, Biden menulis bahwa perjalanannya pekan juga bertujuan untuk “mengupayakan stabilitas yang lebih besar di wilayah yang memiliki konsekuensi pada dunia”.
Pernyataan Biden dikecam oleh Kanani sebagai “laporan sepihak dan tidak realistis tentang kebijakan pemerintah AS di kawasan Asia Barat”.
Juru bicara itu menekankan bahwa jika para pejabat AS menginginkan “stabilitas dan keamanan di kawasan Asia Barat … mereka harus memahami realitas baru dunia dan menghindari mencoba memaksakan nilai-nilai Amerika dan unilateralisme.”
AS perlu “membiarkan negara-negara di kawasan itu bertindak berdasarkan nilai, kepentingan, dan realitas mereka dan dalam kerangka kerja sama regional untuk memastikan keamanan dan kepentingan kolektif mereka,” tambah Kanani. [ab/uh]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.