Pemerintah, Rabu (13/7), menghentikan sementara pengiriman pekerja migran ke Malaysia, termasuk di antaranya ribuan pekerja yang direkrut untuk sektor perkebunan. Penangguhan itu dilakukan menyusul adanya pelanggaran dalam kesepakatan perekrutan pekerja yang ditandatangani antara kedua negara.
Penangguhan tersebut merupakan pukulan terbaru bagi Malaysia yang merupakan produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia dan mata rantai utama dalam rantai pasokan global. Negeri jiran tersebut diketahui sedang menghadapi kekurangan sekitar 1,2 juta pekerja yang berpotensi merusak program pemulihan ekonomi pemerintah Malaysia.
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, mengatakan kepada Reuters bahwa penangguhan itu diberlakukan setelah otoritas imigrasi Malaysia terus menggunakan sistem rekrutmen online untuk pekerja rumah tangga di mana sistem tersebut sebelumnya diduga telah terkait dengan praktik perdagangan manusia dan kerja paksa.
Pengoperasian yang berkelanjutan dari sistem tersebut melanggar ketentuan perjanjian yang ditandatangani antara Malaysia dan Indonesia pada bulan April. Kesepakatan itu, kata Hermono, dibuat untuk meningkatkan perlindungan terhadap para pekerja rumah tangga.
Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia S. Saravanan mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima surat dari pihak berwenang Indonesia yang memberitahukan tentang penangguhan pekerja migran tersebut. Dia mengatakan kepada Reuters bahwa dia akan membahas masalah ini dengan Kementerian Dalam Negeri, yang mengawasi departemen imigrasi.
Perusahaan Malaysia telah mengajukan sekitar 20.000 aplikasi untuk pekerja, sekitar setengahnya untuk pekerjaan di sektor perkebunan dan manufaktur, menurut Hermono.
Malaysia bergantung pada jutaan pekerja asing, yang sebagian besar berasal dari Indonesia, Bangladesh, dan Nepal, untuk mengisi pekerjaan pabrik dan perkebunan. Warga Malaysia enggan untuk bekerja di kedua sektor tersebut.
Namun, meskipun Malaysia telah mengizinkan kembali perekrutan tenaga kerja asing pasca pandemi pada Februari, negara berbahasa Melayu tersebut belum melihat kembalinya pekerja secara signifikan. Hal itu dikarenakan lambatnya persetujuan pemerintah dan pembicaraan yang berlarut-larut dengan negara-negara sumber mengenai perlindungan karyawan.
Ada kekhawatiran yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir atas perlakuan terhadap pekerja migran. Bahkan Amerika Serikat (AS) selama dua tahun terakhir ini telah membelakukan larangan impor terhadap tujuh perusahaan Malaysia karena dianggap telah melakukan praktik “kerja paksa.” [ah/rs]