Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada VOA, Jumat (8/7), mengatakan pemerintah Indonesia menyampaikan rasa duka cita yang mendalam atas meninggalnya mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe hari ini.
Dia menambahkan ucapan belasungkawa juga sudah dilontarkan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam keterangan pers seusai penutupan pertemuan para menteri luar negeri negara anggota G20 di Bali.
“Ini suatu hal yang mengagetkan tapi kita menunggu perkembangan informasi yang lebih komprehensif lagi dari pihak kepolisian Jepang. Tentunya ini sesuatu yang menimbulkan kedukaan di masyarakat Jepang atas apa yang terjadi,” kata Faizasyah.
Lelaki bernama Tetsuya Yamagami, 41 tahun, sekitar jam 11:30 waktu setempat dua kali menembak Abe yang sedang berpidato dalam kampanye menjelang pemilihan umum di kota Nara. Mantan anggota pasukan Pasukan Bela Diri Jepang ini menggunakan senjata rakitan untuk menembak Abe dari belakang.
Insiden penembakan terhadap Abe merupakan pembunuhan pertama terhadap seorang pejabat atau mantan perdana menteri Jepang sejak tahun 1930-an.
Pengamat Hubungan Internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto menjelaskan kematian Abe merupakan kehilangan yang tragis bagi Jepang karena Abe merupakan perdana menteri Jepang yang berkuasa cukup lama.
Bahkan, lanjutnya, Abe merupakan salah satu pemimpin dunia yang berhasil mendekati Amerika Serikat yang ketika negara itu dipimpin oleh Presiden Donald Trump membuat sejumlah kejutan.
“Kecemasan yang perlu diperhatikan adalah sepertinya ada keterkaitan dengan masa pemerintahan Abe yang cukup lama itu ada pro dan kontra terhadap kebijakan Abe. Karena Abe adalah figur politik dan tindakan anarkis seperti ini, tindakan di luar hukum seperti ini, menunjukan ketidaksukaan yang sangat ekstrem terhadap kebijakan Abe. Ini yang harus dicermati oleh pemerintah Jepang,” ujar Nanto.
Namun Nanto menekankan dirinya tidak bisa berspekulasi apakah ketidaksukaannya itu terkait kebijakan Abe di dalam negeri atau kebijakan luar negerinya.
Dia mencatat salah satu yang patut dibanggakan oleh masyarakat Jepang adalah rendahnya kekerasan bersenjata di negara Matahari Terbit itu. Jepang mengklaim sebagai salah satu negara dengan tingkat kriminalitas terendah.
Yang menjadi pertanyaan, menurut Nanto, kenapa penembakan terhadap figur politik seperti Abe terjadi ketika situasi politik dan keamanan di dalam negeri Jepang stabil.
Menurutnya kematian Abe merupakan pembunuhan politik karena korbannya adalah salah satu figur utama dalam politik Jepang dan berlangsung di tengah kampanye pemilihan umum. Dia berharap pembunuhan Abe ini tidak menjadi peluang bagi kelompok nasionalis untuk menegaskan bahwa kekerasan adalah jawaban. Dia mengharapkan pula pembunuhan Abe tidak mengguncang kepercayaan rakyat Jepang terhadap konstitusi.
Nanto mengharapkan kepolisian Jepang segera menuntaskan kasus pembunuhan Abe sehingga tidak berdampak terhadap kepercayaan atas ekonomi Jepang dan menguatkan suara sayap kanan. Jepang harus menunjukkan kematian Abe tetap membuat negara itu tahan terhadap tantangan kebangkitan ekonomi dan stabilitas kawasan yang sedang dihadapi Jepang.
Abe merupakan politikus dari LDP (Partai Demokratik Liberal) yang dua kali memimpin pemerintahan Jepang, yakni selama 26 September 2006 hingga 26 September 2007 dan 26 Desember 2012 hingga 16 September 2020.
Ketika ditembak hari ini, Abe sedang berkampanye untuk menghadapi pemilihan umum yang akan dilaksanakan pada 10 Juli. Masa kampanye berlangsung selama 22 Juni-9Juli.
Pihak Kedutaan Besar Jepang di Jakarta masih belum mau berkomentar tentang motif dan identitas lengkap pelaku pembunuh Abe. Juru Bicara Kedutaan Jepang di Jakarta, Mamiko mengatakan pihaknya masih mengumpulkan informasi terkait insiden ini. [fw/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.