Mulai 1 Agustus ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan menggelar konferensi soal peninjauan NPT (Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir) di New York. Dalam konferensi yang berlangsung hingga 26 Agustus nanti, delegasi Indonesia akan dipimpin oleh Direktur Jenderal Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri Tri Tharyat.

Dalam jumpa pers virtual, pada Minggu (31/7) malam, Tri mengatakan Indonesia sudah menyampaikan proposal tentang NPT minggu lalu. Saat ini enam negara pemiliki kapal selam bertenaga nuklir, yakni Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, China, dan India. Sementara Brazil dan Australia sedang dalam proses pembangunan kapal selam bertenaga nuklir.

Tri mengakui pesatnya perkembangan program kapal selam bertenaga nuklir di berbagai belahan dunia beberapa waktu belakangan ini telah menimbulkan pro dan kontra. Negara yang mengembangkan teknologi ini menyatakan bahwa hal tersebut masih sejalan dengan berbagai perjanjian internasional, seperti Nuclear Non-Proliferation Treaty dan ketentuan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).

Kecemasan lainnya, lanjut Tri, adalah potensi atas risiko yang tidak kecil, yaitu potensi terjadinya radiasi dalam proses transportasi, perawatan, dan penggunaan, maupun radiasi yang dapat dimunculkan dan dampaknya bagi manusia dan sumber daya laut.

Di samping itu, dalam konteks pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sulit sekali untuk melokalisir lokasi radiasi di dalam laut ketimbang kebocoran di darat. Belum lagi potensi pengalihan program kapal selam bertenaga nuklir untuk menjadi program pengembangan senjata nuklir. Oleh karena itu Indonesia berencana mengirim proposal yang dapat menjembatani kepentingan kedua pihak.

“Tujuan dari proposal Indonesia tersebut membangun kesadaran mengenai risiko dan bahaya penggunaan energi berbasis nuklir untuk pengungkit daya kapal selam. Kemudian upaya konkret menyelamatkan nyawa manusia dan kemanusiaan,” kata Tri.

Menurutnya Indonesia sedianya menyampaikan aturan penggunaan energi nuklir untuk kapal selam, pemantauan ketat oleh IAEA, pembuatan perjanjian pengamanan dan sekaligus meminta negara-negara untuk menahan diri dan melakukan tindakan tidak kondusif.

Kapal selam bertenaga nuklir milik Rusia K-266 Orel ambil bagian dalam parade militer di Kronshtadt, Rusia, pada 26 Juli 2020. (Foto: Sputnik, Kremlin Pool via AP/Alexei Druzhinin)

Kapal selam bertenaga nuklir milik Rusia K-266 Orel ambil bagian dalam parade militer di Kronshtadt, Rusia, pada 26 Juli 2020. (Foto: Sputnik, Kremlin Pool via AP/Alexei Druzhinin)

Urgensi NPT

Dalam jumpa pers tersebut, Duta Besar Indonesia untuk PBB Arrmanatha Nasir menjelaskan konferensi tentang NPT tahun ini penting karena dilaksanakan saat dunia menghadapi situasi global yang sangat dinamis, termasuk berkaitan dengan perang di Ukraina. Indonesia akan terus mendorong konferensi NPT tahun ini menghasilkan komitmen yang lebih maju dari negara-negara pemilik senjata nuklir mengenai perlucutan senjata nuklir.

Arrmanatha melihat sekarang ini terjadi pembelahan, yakni ada negara-negara Barat yang mendukung Ukraina dan negara-negara yang lebih dekat kepada Rusia.

“Ini yang kita mencoba hindari dalam konteks NPT. Karena kalau ini terus berlangsung, termasuk dalam konteks isu NPT, ini akan terus mempersulit proses apapun yang maju di dalam pembahasan multilateral,” ujar Arrmanatha.

Mungkinkan Indonesia Desak Kawasan Bebas Nuklir

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah menjelaskan ide kawasan Asia Tenggara bebas nuklir harus dibuat relevan dengan perkembangan terkini. Sebab kalau tidak diawasi dengan baik, pergerakan kapal selam bertenaga nuklir sangat mengancam negara sekitar.

Rezasyah mencontohkan kalau tidak dikelola dengan baik oleh PBB, maka akan banyak negara menggunakan kapal selam bertenaga nuklir. Karena itu, Indonesia harus bekerjasama dengan wilayah yang sudah menerapkan aturan bebas nuklir, seperti di Pasifik Selatan dan Amerika Latin.

Kalau sampai Australia memiliki kapal selam bertenaga nuklir, maka wilayah Indonesia timur akan menjadi wilayah yang kritis, karena sekali kapal selam bermarkas di dekat sana, maka negara lain akan memonitor kawasan tersebut. Selain itu, belum diketahui pula risiko radiasi dan limbah nuklirnya.

“Kita bergerak harus dua arah. Pertama kerjasama di level pembatasan tetapi juga penguatan sosialisasi dengan negara-negara yang punya masalah yang sama, negara Pasifik Selatan dan negara Amerika Latin. Mereka harus sadar. Pada saat pemungutan suara harus kompak bahwa kita semua melarang kapal selam nulir,” tutur Rezasyah.

NPT ditandatangani oleh 191 negara PBB, terutama negara-negara pemilik senjata nuklir, dan negara yang tidak mempunyai senjata nuklir. NPT memiliki tiga tujuan, yakni perlucutan senjata nuklir, non-proliferasi senjata nuklir, dan penggunaan energi nuklir untuk kepentingan damai.

Konferensi Peninjauan terhadap NPT dilaksanakan setiap lima tahun dan terakhir digelar pada 2015. Mestinya konferensi tersebut dilaksanakan pada 2020 karena pandemi COVID-19, ditunda menjadi tahun ini, mulai 1-26 Agustus 2022. [fw/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.