redaksiharian.com – Organisasi Anti-Doping Indonesia (IADO) merilis catatan akhir tahun 2022 dengan melaporkan bahwa atlet Indonesia bebas doping berdasarkan hasil tes terhadap 548 sampel yang dilakukan pada 2022.

Sampel tersebut terdiri atas 293 sampel yang diambil melalui ICT (In Competition Testing) dari atlet yang tengah berkompetisi dan 276 sampel melalui OOCT (Out of Competition Testing) dari atlet di luar kompetisi, misalnya pelatnas. Mereka yang diambil sampelnya adalah para atlet elit yang masuk RTP (Registered Testing Pool) yang dimiliki oleh IADO yang terkoneksi langsung ke badan anti-doping dunia, WADA.

Namun saat ini masih ada beberapa sampel yang masih sedang dianalisis oleh laboratorium anti-doping di Bangkok. Adapun sampel itu diambil dari kegiatan olahraga yang berlangsung pada pertengahan Desember 2022.

IADO pada Oktober 2022 sebetulnya pernah mengumumkan sanksi doping terhadap 6 atlet yang terdiri atas 5 dari atlet PON Papua dan 1 atlet Peparnas Papua 2021, namun itu semua terjadi berdasarkan kontrol doping pada akhir 2021.

“Selama kurun waktu tahun 2022, meskipun data ICT dan OOCT tersebut di atas telah berhasil dianalisa terhadap 548 sampel, namun tercatat belum pernah ada atlet yang diindikasikan telah menggunakan doping,” demikian pernyataan IADOdalam rilis pers, Rabu.

Namun Ketua Umum IADO Gatot S. Dewa Broto menyatakan kasus nol doping bukan menjadi satu-satunya tolok ukur penilaian WADA terhadap organisasi anti-doping suatu negara (NADO). Indikator utama penilaian dari WADA terhadap setiap NADO terletak pada tata kelola organisasi dan kepatuhan kepadaWADA Code.

Tata kelola organisasi menjadi salah satu aspek penting yang harus diperbaiki IADO. Apalagi pada awal 2022, ketika IADO masih bernama LADI, sempat dihadapkan dengan skandal tata kelola organisasi anti-doping yang tidak sesuai dengan standar WADA.

Sanksi itu merugikan Indonesia karena harus kehilangan hak-haknya di ajang internasional, termasuk larangan mengibarkan bendera Merah Putih dalam Piala Thomas 2020.

Belajar dari kesalahan itu, IADO terus berupaya menciptakan lembaga anti-doping yang profesional. IADO juga berkomitmenmeningkatkan kinerja mereka secepat dan sebaik mungkin, salah satunya adalah berkomunikasi intensif dengan WADA, lembaga anti-doping Asia Tenggara (SEARADO) dan NADO dari negara-negara lain.

“IADO mengakui bahwa kinerjanya belum seberapa baik jika dibandingkan dengan NADO Thailand, Filipina ataupun Malaysia dan Singapura yang jauh lebih maju. Tetapi seluruh jajaran IADO telah berkomitmen untuk meningkatkan kinerjanya secepat dan sebaik mungkin,” demikian pernyataan IADO.