RedaksiHarian – Mantan Duta Besar Indonesia untuk Afrika Selatan dan China Sugeng Rahardjo meluncurkan buku berjudul ‘Healing the World – Memadamkan Api Perang Dunia Ketiga’, di Jakarta pada Senin.
Ini adalah buku kedua Sugengsetelah “Unboxing Tiongkok” pada 2021 yang mengupas secara mendalam berbagai aspek tentang perkembangan China yang membawa kepada cerahnya perekonomian Indonesia dan dunia, sesuai dengan pengalamannya menjadi Dubes RI di Beijing pada 2014–2017.
‘Healing the World’ sendiri mengupas isu-isu aktual dalam masyarakat dunia, yaitu sakitnya perekonomian dunia dan juga transisi geopolitik dunia yang sedang bergeser dari Amerika kepada kekuatan ekonomi dunia baru yang lebih seimbang.
“Sejak Perang Dunia Kedua, kebijakan yang diambil selalu ditandai dengan persaingan yang alih alih sehat, tapi justru menimbulkan ketegangan,” kata Sugeng dalam keterangan tertulisnya, Jumat.
Dia menambahkan, dunia tetap akan dikuasai neokolonialisme yang ditandai dengan kebijakan zero sum game, yaitu harus ada yang menang dan kalah.
Keunikan buku ‘Healing the World’ adalah semua peristiwa geopolitik dunia ini, tidak diulas dari sudut pandang seorang pengamat, melainkan dari seorang pelaku melalui perjalanan hidup dan karir seorang Sugeng Rahardjo.
Sejak awal karierya sebagai diplomat, Sugeng melihat dan berada di Amerika Serikat (AS) ketika AS menjadi puncak kemajuan dunia dan saat berada di China ketika negeri ini menjadi pusat kemajuan dunia baru selama satu dekade terakhir.
“Buku ini saya tulis untuk memberikan pengalaman selama hampir 40 tahun terakhir sebagai diplomat, di mana perkembangan dalam negeri dan hubungan internasional tidak merupakan ruang yang kosong, tetapi banyak dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan yang apabila tidak mendapatkan perhatian generasi muda akan menciptakan berbagai tantangan dan kendala dalam menciptakan Indonesia yang lebih makmur, lebih adil dan sejahtera,” kata Sugeng.
Buku 300 halaman dalam dua jilid itu memberi pesan mendalam tentang pentingnya pengelolaan politik luar negeri bahwa diplomasi bukan sekadar seremoni, tapi juga harus membawa dan mentransfer kemakmuran negara yang lebih maju kepada Indonesia, kata Sugeng.
Sugeng menilai bahwa diplomat harus sudah sanggup melihat rekam jejak tentang siapa teman dan siapa yang bukan teman.
Semua itu disuguhkan melalui catatan perjalanan di berbagai belahan dunia selama sebagai diplomat, mulai “Operasi Jakarta” di Chile pada 1973, pembicaraan mengenai utang Indonesia dalam Paris Club selama krisis moneter 1997-1998, mempersiapkan kedatangan pemimpin Afrika Selatan Nelson Mandela pada era Presiden Soeharto, serta sepak terjangnya sebagai Irjen dan saat melihat implikas kepemimpinan dunia saat ini yang dapat mengancam perang dunia ketiga.
Sugeng memiliki pemikiran progresif bahwa era Amerika Serikat terus mengalami penurunan, bahkan akan berakhir dan saat ini giliran Asia tampil memimpin dunia.
“Apalagi sekarang dunia menyaksikan kehebohan kondisi keuangan AS, negara dengan ekonomi terkuat di dunia, yang ternyata memiliki utang yang sangat besar bahkan terancam gagal bayar,” kata Sugeng.
Narasumber dalam peluncuran buku ini, dosen Ilmu Hubungan Internasional pada Universitas Padjajaran, Bandung, Teuku Rezasyah, menyebut’Healing the World’ perlu dibaca oleh diplomat, mahasiswa dan mereka yang tertarik kepada diplomasi internasional atau dinamika dunia.
“Buku ini mengajak Republik Indonesia untuk lebih mandiri dan lebih peka terhadap kondisi geopolitik yang terjadi saat ini dan mendatang,” kata Teuku.
Peluncuran tersebut juga menghadirkan aktivis mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Pehimpuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).
Melalui buku ini, Sugeng mengajak pemimpin bangsa dan pebisnis merefleksi diri menghadapi situasi dunia yang sedang dalam tekanan besar sehingga tak lagi memandang semuanya dengan “business as usual”. Kepentingan diplomasi Indonesia harus mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, kata dia.
Menurut dia, ‘Healing the World’ perlu dibaca para politisi dalam menghadapi dunia yang semakin tidak pasti dan membutuhkan diplomat yang mengetahui apa yang sesungguhnya sedang terjadi di balik dinamika dunia yang sedang terjadi.
Dua wartawan LKBN ANTARA, Atman Ahdiat dan Rahmad Nasution, menjadi dua dari empat orang yang membantu Sugeng menulis buku ini. Dua lainnya adalahSariat Arifia dan Ardi Bramantyo.