redaksiharian.comHarga BBM naik dinilai menjadi momentum yang pas bagi pemerintah untuk mendorong penggunaan energi non BBM alias non fosil. Hal ini bisa dilakukan terutama pada sektor transportasi.Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Harya S. Dillon mengatakan, pengurangan konsumsu energi fosil bisa mengurangi emisi. Diketahui ini sejalan dengan misi pemerintah dalam mencapai net zero emission pada 2026.

Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah berkomitmen untuk turut mengurangi penggunaan energi non BBM.

“Harus dimulai dengan kemauan politik yang kuat, misalnya mendeklarasikan bahwa angkutan umum di Indonesia akan 100% menggunakan kendaraan non BMM pada tahun 2030. Kemarin Sekretariat Negara mengumumkan penggunaan kendaraan Non BBM untuk operasional di 5 Istana Negara. Itu layak diapresiasi, namun dampaknya tidak akan signifikan kalau tidak diikuti dengan angkutan umum,” ujarnya, ditulis Minggu (11/9/2022).

Selain beralih ke kendaraan listrik, tahap awal yang dilakukan bisa melakukan migrasi bahan bakar BBM ke bahan bakar gas berjenis Compressed Natural Gas (CNG). Pasalnya investasi penggunaan BBG untuk perusahaan transportasi umum masih lebih murah ketimbang menggunakan kendaraan energi non BBM lainnya yaitu kendaraan listrik.

Salah satu perusahaan yang sudah melakukan itu adalah PT Blue Bird Tbk. Perusahaan transportasi tersebut saat ini sudah memiliki armada berbasis BBG sebanyak 2.300 unit atau 22 persen dari seluruh armada. Jumlah itu rencananya akan terus ditambah hingga 5 ribu unit.

Wakil Direktur Utama Blue Bird, Adrianto Djokosoetono menjelaskan, penggunaan energi non BBM bisa menekan biaya yang cukup signifikan.

“Melalui penerapan armada BBG, Blue Bird berhasil menekan beban energi hingga 40 persen,” ujarnya.

Kembali ke Harya, untuk mendorong lebih banyak transportasi umum menggunakan BBG, pemerintah harus mulai menambah jaringan stasiun pengisian bahan bahar gas (SPBG) untuk memudahkan dalam pengisian dan memotivasi migrasi ke BBG.

“Kita lihat dari pengalaman TransJakarta. Banyak waktu kendaraan habis mengantri di SPBG sehingga kinerja operasional angkutan menjadi tidak optimal,” kata Adrianto.