redaksiharian.com – Pengacara Frank Hutapea menilai pasal RKHUP tentang perzinaan janggal. Menurutnya, bila aturan ditetapkan akan berbuntut kepada masalah-masalah lain.
Beberapa hari ini warganet ramai memperdebatkan soal pasal 415 dalam RKUHP yang dinilai mengusik privasi. Pasal 415 ayat (1) berbunyi, “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan semua atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Kemudian, dalam ayat 2 Pasal 415 itu tertulis, “Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau b. orang tua atau anaknya bagi yang tidak terikat perkawinan.”
Tak cuma masyarakat umum, pengusaha hotel juga resah dibuatnya. Mereka beranggapan bila aturan ini disahkan, nantinya berdampak pada kunjungan wisatawan, apalagi turis asing. Mereka khawatir wisatawan enggan menginap di hotel.
Menurut Frank Hutapea, kata penuntutan yang digunakan dalam ayat tersebut berpotensi menimbulkan masalah. Sebabnya, konteks penuntutan artinya sudah masuk ranah persidangan dengan ada jaksa yang akan menuntut orang yang dilaporkan.
“Seharusnya yang diklarifikasi Tim Sosialisasi RKUHP itu bukan cuma substansi perkaranya, tapi prosedurnya yang ayat 2. Ada kalimat tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan. Padahal, penuntutan itu levelnya sudah pengadilan,” kata Frank kepada detikcom, Minggu (23/10/2022).
Frank menjelaskan, sebelum penuntutan, terdapat proses pelaporan, penyelidikan, penyidikan, pelimpahan ke kejaksaan, pelimpahan ke pengadilan, pembacaan dakwaan dan persidangan yang melibatkan saksi dan bukti. Barulah dilakukan penuntutan.
“Kalau dalam ayat itu disebut penuntutan, berarti sudah tahap terakhir. Jadi, menurut saya tentang pasal perzinaan ini harus diterangkan soal proseduralnya,” ujarnya.
“Kalau penuntutan hanya bisa dilakukan suami/istri, orang tua/anak, apakah ini berarti pelaporan bisa dilakukan oleh siapapun. Apakah berarti sudah bukan delik aduan? Apakah berarti polisi bisa menyelidik sendiri tanpa ada laporan. Kecuali kalau tulisannya tidak dilakukan penyelidikan atau penyidikan, bukan tidak dilakukan penuntutan,” dia menambahkan.
Poin kedua yang Frank kritisi adalah soal penuntutan oleh orang tua atau anak. Menurutnya kedua pihak ini tidak berkaitan bila perzinaan dilakukan orang yang sudah dewasa.
“Apa urusannya kalau orangnya sudah dewasa? Kalau orangnya sudah single parent, apakah anak atau orang tuanya bisa melaporkan?” kata dia.
Ia juga menilai bila aturan ini diberlakukan, bukan hanya pengusaha hotel yang terdampak. Pasalnya kegiatan tersebut tak cuma bisa dilakukan di hotel, bisa saja di rumah atau di tempat-tempat lain.
Selain itu, pengesahan aturan ini juga dapat menimbulkan masalah baru. Misalnya para pelaku baru ditangkap atau diperiksa namun beritanya sudah viral di media sosial.
“Potensi laporan akan sangat banyak karena semua bisa melaporkan. Apalagi kalau niatnya hanya mau menjebak,” kata Frank.
Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP: Ada Kesalahpahaman
Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP Albert Aries menyatakan pendapatnya. Dia mengatakan ada kesalahpahaman yang ditangkap masyarakat. Menurutnya, tidak benar bahwa pasangan di luar nikah yang menginap di hotel akan dipenjara.
“Tidak benar demikian (bahwa pasangan di luar nikah yang check in di hotel bisa dipenjara), dan juga tidak serta merta bisa dipidana penjara,” kata Aries kepada detikcom, Sabtu (22/10/2022).
Kata Aries, pasangan di luar nikah yang menginap di hotel tidak serta merta digerebek tanpa ada aduan.
“Sebagai delik aduan (klach delicten) di RKUHP, yaitu hanya dapat diadukan oleh suami/istri bagi mereka yang terikat perkawinan atau orang tua/anak bagi mereka yang tidak terikat perkawinan. Maka, tidak akan pernah ada proses hukum tanpa adanya pengaduan dari yang berhak dan dirugikan secara langsung,” tutur Aries.