Amerika, Senin (25/7), mengutuk eksekusi ke-4 aktivis politik dan pejabat terpilih di Myanmar dan menyerukan pemerintah militer untuk segera menghentikan kekerasan.

Juru bicara Dewan Keamanan Nasional merilis pernyataan yang berisi: “Kami menyerukan rezim untuk segera menghentikan kekerasan, membebaskan mereka yang ditahan secara tidak adil, dan memungkinkan pulihnya demokrasi secara damai sesuai keinginan rakyat Birma (Myanmar).”

Pelapor Khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, mengutuk eksekusi aktivis tersebut. Ia menyatakan bahwa negara-negara anggota PBB harus menjadikan “tindakan keji ini sebagai titik balik bagi dunia untuk merespons krisis ini.”

Dalam cuitannya, Andrews menulis, “Saya sangat terpukul pada berita bahwa mantan anggota parlemen Zeyar Thaw dan aktivis Ko Jimmy dieksekusi bersama dua orang lainnya hari ini. Negara-negara anggota PBB harus menghormati nyawa mereka dengan menjadikan tindakan keji ini sebagai titik balik bagi respons dunia terhadap krisis ini.”

Aktivis terkemuka Myanmar, Thinzar Shunlei Yi, yang melarikan diri dari negara itu setelah militer menggulingkan pemerintah pada Februari 2021, mengatakan kepada kantor berita Associated Press bahwa dia terkejut dan merasa ngeri. Dengan tindakan itu, kata Shunlei Yi, pemerintah militer hendak menunjukkan kekuatan untuk mengintimidasi.

“Mereka ingin menanamkan rasa takut di antara kita, terutama kelompok perlawanan dan masyarakat umum supaya mereka bisa melakukan apa saja yang mereka bisa,” jelasnya.

Berbicara dari perbatasan Thailand-Myanmar, ia menambahkan, eksekusi itu menunjukkan para jenderal “di luar kendali”. “Mereka adalah penjahat,” cetusnya. “Ini akan meningkatkan revolusi”, katanya. “Tindakan ini seperti ajakan perang.”

Wakil Direktur Asia untuk Human Rights Watch, organisasi HAM yang berbasis di Amerika, Phil Robertson, juga mengutuk tindakan tersebut. Kepada Associated Press ia mengatakan, “Kebobrokan junta militer Myanmar tidak mengenal batas. Mereka yang dieksekusi adalah empat tahanan politik yang diadili di pengadilan militer yang merupakan pengadilan tertutup. Kejahatan terhadap kemanusiaan jelas tidak cukup untuk junta militer Myanmar: kini mereka terlibat dalam eksekusi tahanan.”

Dalam catatan singkat yang dirilis Badan Nasional Myanmar yang dikuasai militer, otoritas militer mengukuhkan bahwa “hukuman dilakukan” dengan cara digantung, tanpa menyebut kapan. Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG), pemerintahan bayangan yang dilarang oleh junta yang berkuasa, mengutuk eksekusi itu dan menyerukan tindakan internasional terhadap militer yang berkuasa.

Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi mengatakan eksekusi itu, yang tetap dilakukan walaupun Jepang berulangkali mendesakkan resolusi damai serta tuntutan untuk membebaskan tahanan, akan semakin mengisolasi Myanmar.

Eksekusi telah menghancurkan harapan akan kesepakatan damai, kata Tentara Arakan (AA), milisi etnis utama di Negara Bagian Rakhine yang bergolak di Myanmar.

Junta militer Myanmar mengeksekusi dua aktivis prodemokrasi terkemuka dan dua lainnya yang dituduh melakukan aksi teroris, media pemerintah melaporkan Senin. Aktivis kawakan demokrasi Kyaw Min Yu, lebih dikenal sebagai Ko Jimmy, dan mantan anggota parlemen Liga Nasional untuk Demokrasi Phyo Zayar Thaw dieksekusi, bersama Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw, Global New Light of Myanmar melaporkan, tanpa informasi kapan eksekusi dilakukan.

Eksekusi itu menandai hukuman mati pertama di Myanmar dalam puluhan tahun. Organisasi hak asasi manusia khawatir akan lebih banyak yang akan dieksekusi. Menurut Human Rights Watch, 114 orang telah dijatuhi hukuman mati di Myanmar sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta pada Februari 2021. [ka/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.