redaksiharian.com – Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP ) mengatakan, pihaknya memahami muncul banyak perdebatan setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor G Monoppo mengatakan, ada tiga kekhawatiran yang diterima KKP terkait PP Nomor 26 Tahun 2023 yaitu, ekspor pasir laut , ancaman ekologi, dan ada siapa di balik kebijakan tersebut.
Victor mengatakan, kebijakan ekspor pasir laut tersebut bukan sebatas untuk mendukung pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, tapi juga mengamanatkan dilakukannya perlindungan dan rehabilitasi terhadap ekosistem dari hasil sedimentasi yang dikelola.
“Sejak PP ini diterbitkan, segala perdebatan yang kita terima. Ada tiga kekhawatiran di dalamnya yaitu ekspor pasir laut, ancaman ekologi, dan ada siapa di balik kebijakan ini. Sebetulnya dari tiga isu itu kalau memang kita sudah membaca PP tersebut dari awal, manfaatnya apa, pertimbangannya apa, dan dasar-dasar kebijakannya apa, sudah jelas. Ada tugas dan tanggung jawab KKP yang harus memelihara laut,” kata Victor dalam keterangan tertulis, Jumat (9/6/2023).
Victor mengatakan, dalam Pasal 2 PP Nomor 26 Tahun 2023 disebutkan bahwa pengelolaandilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut, kemudian mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.
“Jadi pemanfaatannya bukan sebatas untuk kepentingan pembangunan, tapi juga adanya perlindungan pada ekosistem dan amanat memanfaatkan hasil sedimentasi untuk rehabilitasi ekosistem di situ,” ujarnya.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan bidang Hubungan Luar Negeri Edy Putra Irawady mengungkapkan, beberapa hal yang melatarbelakangi pemerintah menerbitkan kebijakan tersebut di antaranya yaitu, kewajiban negara memastikan lautnya sehat dan bersih demi keberlanjutan ekologi, mendukung kepentingan nasional, mandat internasional tentang kesehatan laut, serta tidak adanya standarisasi reklamasi yang berimbas pada kerusakan ekosistem.
“Kita selama ini absennya standarisasi reklamasi. Batam ini paham sekali, bagaimana dikeruk bukit-bukit untuk reklamasi karena tidak ada supply (material). Saya sudah beberapa kali ke Busan, Korea, mereka sudah punya standarisasi reklamasi, material apa, ukuran apa, karena setiap bahan yang digunakan ada standarnya sendiri,” kata Edy Putra.
Senada dengan Edy, Asisten Deputi Pengelolaan Ruang Laut dan Pesisir Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi Rasman Manafi mengatakan, PP Nomor 26 tahun 2023 lebih mengutamakan pengendalian dari ancaman kerusakan ekosistem dibanding pemanfaatan hasil sedimentasi untuk kepentingan ekonomi.
“Bahwa regulasi yang kita bicarakan bukan hanya pemanfaatan tapi juga kita bicara pelindungan dan pelestarian. Kita bicara saat ini sedimentasi. Sangat tidak benar kalau itu hanya soal pemanfataan,” kata Rasman.
Sementara itu, Akademisi Universitas Sriwijaya Iskhaq Iskandar mengatakan, pemerintah perlu melakukan kajian yang matang dalam pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.
Ia mengatakan, kajian tersebut untuk menjamin pemanfaatan hasil sedimentasi tidak membawa dampak negatif pada lingkungan seperti terjadinya abrasi.
Iskhaq mengatakan, selain kajian dari pemerintah, pelaku usaha yang mengajukan izin pemanfaatan harus memiliki kajian.
Dengan kajian tersebut, akan menjawab kekhawatiran publik mengenai potensi kerusakan ekosistem dari aktivitas pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.
“Kami menyarankan bahwa aktivitas pemanfaatan sedimentasi laut ini perlu kajian sebelum dimanfaatkan. Kalau di bidang oseanografi sangat memungkinkan dilakukan permodelan pada saat kondisi sekarang seperti apa, kalau dimanfaatkan sedimentasinya apakah kondisinya hidro-oseanografinya berubah atau tidak. Sehingga pada saat pelaku usaha menyampaikan proposal pemanfaatan, dia harus membuat permodelannya dulu bagaimana,” kata Iskhaq.
Terakhir, Anggota Asosiasi Pasir Laut Kepri Iskandar Syah menilai, terbitnya PP 26/2023 sebagai terobosan mengingat banyaknya kegiatan reklamasi di Indonesia.
Menurut dia, material yang dibutuhkan menjadi jelas sumbernya dengan adanya aturan tersebut.
“Ada sebuah terobosan oleh pemerintah, banyak yang mau kita reklamasi, sumbernya di mana? Di Kepri sendiri proyek reklamasi banyak, dan itu butuh dari mana (materialnya). Tinggal bagaimana kita menerangkan ini secara utuh ke masyarakat sehingga tidak terjadi konflik, karena sekarang banyak orang mencoba bentur-benturkan, padahal itu bisa beriringan,” kata Iskandar.