Sejumlah langkah akan diambil oleh pemerintah dalam upaya mempercepat implementasi dari rencana pemekaran provinsi Papua. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan pemerintah kini tengah menyiapkan payung hukum untuk teknis pelaksanaan pemekaran provinsi Papua menjadi tiga wilayah baru yaitu Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Tengah.

“Apakah instrumennya (itu nanti) Perppu, Perpres atau peraturan pemerintah, nanti kita sedang diskusikan dalam waktu yang tidak lama,” ujar Mahfud dalam konferensi pers daring pada Selasa (5/7).

Menko Polhukam Mahfud MD (Courtesy: Menkopolhukam).

Menko Polhukam Mahfud MD (Courtesy: Menkopolhukam).

Ia menambahkan payung hukum tersebut nantinya akan diusulkan oleh pihak Kementerian Dalam Negeri. Sejumlah aturan teknis yang akan dibahas dalam aturan tersebut yaitu mencakup aturan pengisian pejabat dan anggota legislatif di ketiga provinsi baru itu.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan rencana pembuatan payung hukum teknis pelaksanaan pemekaran provinsi mereduksi substansi persoalan.

Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia (foto: VOA/Made Yoni).

Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia (foto: VOA/Made Yoni).

Sebab, kata dia, inti dari persoalan ini adalah pembuatan Undang-undang pemekaran tiga daerah otonomi baru (DOB) di Papua ini minim partisipasi publik. DPR dan pemerintah terkesan terburu-buru mengesahkan undang-undang ini meskipun terdapat penolakan dari berbagai pihak di Papua.

“Apakah DOB itu memang diperlukan, apakah ada kajian yang memperlihatkan perlunya DOB, apakah sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku,” ujar Usman kepada VOA, pada Rabu (6/7).

Ia mengingatkan pemekaran wilayah di Papua semestinya dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Salah satunya yaitu pemekaran provinsi harus memperhatikan kesatuan sosial budaya dan kesiapan sumber daya manusia.

Karena itu, Usman sependapat dengan usulan Gubernur Papua Lukas Enembe yang mengusulkan pemekaran provinsi disesuaikan dengan tujuh wilayah adat jika pemekaran sudah tidak dapat ditangguhkan lagi.

“Saya kira ada jurang yang lebar antara yang dipikirkan pemegang kebijakan di Papua seperti Majelis Rakyat Papua (MRP), DPR Papua, gubernur dengan Kemendagri dan DPR,” tambah Usman.

Selain Amnesty Internasional, penolakan terhadap pemekaran tiga provinsi baru di Papua disampaikan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib dan Pegiat kemanusiaan dari Gereja Kristen Injil (GKI) Tanah Papua, Pendeta Dora Balubun.

Puluhan mahasiswa Papua di Yogyakarta menggelar aksi demo menolak pemekaran dan menuntut referendum bagi rakyat Papua. Aksi digelar di depan gedung DPRD Yogyakarta, pada 10 Mei 2022. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Puluhan mahasiswa Papua di Yogyakarta menggelar aksi demo menolak pemekaran dan menuntut referendum bagi rakyat Papua. Aksi digelar di depan gedung DPRD Yogyakarta, pada 10 Mei 2022. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Menurut Timotius, pemekaran ini merupakan keinginan pemerintah pusat ketimbang warga Papua. Selain itu, Timotius pernah mendapat informasi saat berdiskusi dengan pemerintah bahwa pemekaran tiga provinsi baru di Papua juga untuk memperpendek ruang gerak Organisasi Papua Merdeka (OPM). Karena dengan adanya provinsi baru berarti pemerintah dapat membangun kekuatan militer baru di wilayah tersebut dengan keberadaan Komandan Daerah Militer (Kodam) dan Kepolisian Daerah.

Sementara Pendeta Dora Balubun mengatakan pemerintah tidak melibatkan masyarakat luas dalam pembentukan UU Pemekaran Provinsi Baru di Papua, melainkan hanya dengan sedikit elit di Papua. Ia juga khawatir pemekaran provinsi di Papua akan menimbulkan konflik baru di Bumi Cendrawasih. [sm/rs]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.