redaksiharian.com – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Amira Husna Natanegara mengatakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus meningkatkan pengawasan untuk mengurangi risiko gagal bayar pada perusahaan teknologi finansial/financial technology (fintech) Peer to Peer (P2P) lending.
“OJK perlu meningkatkan pengawasan dan memberikan penalti terhadap platform yang mengalami masalah rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL),” kata Amira dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu.
Pada Desember 2022, sebanyak 21 perusahaan telah diminta untuk memberikan dan menerapkan rencana aksi untuk perbaikan kelancaran kredit bermasalah.
Maka dari itu, ia menilai perlu adanya kelanjutan sanksi atau penalti bagi platform P2P lending yang gagal memenuhi rencana aksi, seperti pemberhentian distribusi pinjaman atau pencabutan lisensi sementara.
P2P lending diminati karena menjadi solusi untuk banyak peminjam yang membutuhkan dana cepat dan mudah diakses, terutama untuk kalangan belum tersentuh layanan keuangan perbankan (unbanked) dan sudah memiliki rekening bank tetapi belum bisa mengakses produk keuangan lain (underbanked).
Namun, kata Amira, kemudahan dari skema pembiayaan P2P lending tak terlepas dari kemungkinan gagal bayar. Risiko ini sudah melekat akibat faktor-faktor yang ada pada model usaha P2P seperti profil peminjam, gejolak ekonomi, serta salah manajemen dari P2P lending itu sendiri.
Maraknya gagal bayar pada pinjaman platform P2P lending berawal sejak masa pandemi COVID-19. Menurut data Statistik Fintech Lending yang dipublikasi oleh OJK, penurunan Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari (TKB90) fintech lending pada Juli 2020 mencapai 5,61 persen dari tahun sebelumnya.
TKB90 merupakan salah satu indikator keberhasilan pembayaran peminjam dalam jangka waktu 90 hari.
Amira menambahkan, selain meningkatkan pengawasan, beberapa hal ini dapat dilakukan untuk mengurangi risiko gagal bayar, yaitu platform P2P lending dapat diwajibkan untuk mengejar pinjaman yang menunggak dari peminjam dan menuntaskan pembayaran kepada pemberi pinjaman sebelum kembali menyalurkan pinjaman baru.
Kriteria peminjam yang memiliki rekam jejak kredit bermasalah juga dapat dievaluasi kembali untuk penyaluran pinjaman ke depannya.
Selain itu, pemanfaatan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dan Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil) yang dikelola oleh OJK juga dapat ditingkatkan, khususnya untuk penerapan manajemen risiko kredit atau pembiayaan. Saat ini, data pinjaman fintech lending tidak dicantumkan dalam SLIK.
Walaupun begitu, ia menekankan pentingnya sosialisasi dan literasi berkala terhadap berbagai risiko yang melekat pada tipe pembiayaan P2P lending, terutama kepada pemberi pinjaman potensial.
“Hal ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat secara utuh agar dapat membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan ketika berinvestasi di P2P,” jelasnya.