redaksiharian.com – Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai regulasi bersama (co-regulation) dengan melibatkan semua pihak melalui pembagian peran dan tanggung jawab dalam perumusan dan implementasi kebijakan dapat memperkuat transformasi ekonomi digital Indonesia yang berkelanjutan.
“Pendekatan co-regulation untuk ekonomi digital dapat memastikan tersedianya data dan pengetahuan yang diperlukan negara dari lintas sektor, menciptakan mekanisme dialog dan memungkinkan adaptasi fleksibel dalam ekonomi digital yang cepat berubah seiring perkembangan inovasi,” ujar Media Relations Manager CIPS Vera Ismainy dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu.
Co-regulation memberikan wewenang kepada pihak-pihak non pemerintah yang terlibat untuk membuat peraturan sesuai dengan kewenangannya. Namun implementasinya tetap di bawah pengawasan pemerintah, sehingga membedakannya dari public private dialogue yang hanya sebatas dialog melibatkan semua pihak.
Ia menjelaskan regulasi bersama membutuhkan komitmen pada sebuah kerangka peraturan yang jelas dan holistik, yang melibatkan ragam pemangku kepentingan dalam memformulasinya agar menghindari tumpang tindih maupun ketidakjelasan arah pembangunan ekonomi digital.
Selain pembagian tanggung jawab antara publik dan swasta secara formal, para pelaku bisnis dan asosiasi juga perlu dilibatkan dalam implementasi regulasi untuk membantu memastikan regulasi tetap dapat ditegakkan tanpa menghambat proses inovasi.
Penggunaan regulatory sandbox merupakan contoh praktis dan positif dari proses semacam itu. Proses ini memberikan ruang bagi pembuat kebijakan dan pelaku bisnis untuk terlibat dalam proses penemuan ide dan eksperimen dalam kerangka peraturan atau hukum yang bersifat sementara sekaligus fleksibel.
Pemantauan dan evaluasi, menurut Vera, diperlukan untuk meninjau secara berkala proses regulasi bersama dan memastikan bahwa semua pelajaran yang didapat terekam dan transparan. Diperlukan pula jaminan keamanan ekosistem digital bagi pengguna.
Penelitian CIPS tahun 2021 menunjukkan, pemerintah dapat fokus pada empat bidang kebijakan ekonomi digital, yaitu perlindungan konsumen, privasi data, keamanan siber dan pembayaran elektronik, untuk memastikan inklusivitasnya.
Ia pun berpendapat kerangka peraturan perlindungan konsumen yang ada belum dapat mengakomodir model bisnis yang muncul, malah sebaliknya menghambat bisnis, misalnya dengan adanya persyaratan perizinan bagi penjual daring.
Oleh karenanya, Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen, kata dia, perlu ditinjau kembali, khususnya yang terkait transaksi digital dan hak masyarakat di era digital.