Presiden Joko Widodo menerima kunjungan kehormatan Menteri Luar Negeri Republik Rakyat China (RRC) Wang Yi, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (11/7).
Dalam pertemuan tersebut, Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengatakan, Menlu Wang Yi mengapresiasi usaha Presiden Jokowi untuk ikut meredam konflik yang terjadi antara Rusia-Ukraina.
“Selain itu dalam pertemuan tadi RRC juga memberikan apresiasi atas berbagai upaya Indonesia untuk mencoba mencari atau mengupayakan resolusi atau penyelesaian secara damai terhadap situasi yang sedang terjadi di Ukraina, termasuk secara spesifik disebutkan mengenai kunjungan Presiden ke Kiev dan Moskow,” ungkap Retno.
Selain itu, ujar Retno, Wang Yi, juga mengapresiasi kepemimpinan Indonesia di dalam Presidensi G20, termasuk kesuksesannya dalam menyelenggarakan pertemuan Menteri Luar Negeri anggota G20 di Bali pekan lalu. Indonesia, katanya, dinilai oleh China dapat menjalankan kepemimpinannya di Presidensi G20 dengan baik dan bijak di tengah banyaknya tantangan yang sedang dihadapi dunia pada saat ini.
Lebih jauh, Retno mengatakan di dalam kunjungan ini kedua negara sepakat untuk meningkatkan hubungan bilateral yang saling menguntungkan. Apalagi, hubungan dagang antara Indonesia dengan RRC pada tahun lalu melonjak lebih dari 54 persen sehingga mencapai USD110 miliar.
“Kenaikan perdagangan ini juga diikuti dengan defiisit dari Indonesia yang terus menurun, dan kita lihat akses pasar untuk produk-produk unggulan Indonesia semakin lama semakin banyak memasuki pasar China,” tuturnya.
Jokowi dan Wang Yi, kata Retno juga mendorong penyelesaian proyek prioritas hasil kerjasama antar kedua negara, termasuk proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang masih stagnan penyelesaiannya.
“Juga dibahas berbagai proyek prioritas antara kedua negara, termasuk proyek atau upaya untuk menyelesaikan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Kemudian yang dibahas lainnya adalah kerja sama di bidang kesehatan, termasuk untuk vaksin dan genomics joint laboratorium dan terakhir, dibahas juga mengenai upaya kedua belah pihak untuk terus mendorong interaksi yang lebih kuat antara swasta atau private sector kedua belah pihak,” jelasnya.
Kepentingan China
Dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jogjakarta Niko Loy memahami apresiasi China terhadap kunjungan yang dilakukan oleh Jokowi ke kedua negara yang sedang berkonflik tersebut.
Pasalnya, perang antara Rusia-Ukraina tersebut menimbulkan krisis pangan dan krisis energi dalam jangka waktu panjang. Sebagai negara pengimpor minyak dan gandum, tentu Indonesia dan China akan cukup kesulitan menghadapi dampak yang ditimbulkan apabila perang terus berkelanjutan. Apalagi Bank Dunia juga telah meramalkan akan adanya krisis stagnasi ekonomi global akibat perang antara Rusia-Ukraina tersebut.
“Dalam aspek ini, kita kemudian melihat pertemuan kepentingan antara Indonesia dan China. Kita ini adalah dua negara yang sama-sama suka makan tepung, dimana impor gandum itu dari Rusia dan Ukraina. Nah China juga sama, negara yang suka mengkonsumsi tepung. Kalau perang ini terjadi, produksi gandum menurun, atau embargo gandum terus dilakukan maka kemudian menjadi masalah buat Indonesia dan China,” ungkap Niko kepada VOA.
Niko mengatakan, pujian China terhadap upaya Jokowi untuk mendamaikan pihak yang sedang bertikai diharapkan dapat meredam situasi agar tidak semakin memburuk.
“Kita ini adalah dua negara yang sama-sama importir energi meskipun dalam aspek ini mungkin ketahanan energi China lebih besar karena mereka punya cadangan strategis, dan kita gak punya. Jadi langkah ini kemudian mungkin diapresiasi oleh China karena membantu untuk menunjukkan kepada dunia bahwa jalan ketiga itu mungkin, untuk menyelesaikan konflik,” tuturnya.
Lebih jauh, Niko melihat bahwa kunjungan Jokowi baik ke Kyiv, maupun ke Moskow ini bisa dimaknai dua hal. Pertama dimaknai sebagai simbolik bahwa jalan perdamaian di tengah konflik kedua negara tersebut bisa menjadi salah satu langkah yang bisa diambil, dan kunjungan Jokowi ini pun cukup diapresiasi oleh masyarakat global.
Kedua, pertemuan Jokowi dengan kedua kepala negara yang sedang bertikai juga bisa dimaknai kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan dan energi yang berkepanjangan sebagai dampak daripada perang ini, terutama bagi negara pengimpor energi seperti Indonesia.
“Kita adalah salah satu importir, karena produksi minyak kita terbatas, maka kita sangat tergantung pada pasar minyak internasional, sementara pasar minyak ini sangat sensitif. Dan sekarang Rusia adalah salah satu pemasok minyak terbesar di dunia, jadi kalau ini terjadi negara-negara importir minyak adalah yang paling sensitif dan menderita dari kenaikan harga minyak mentah dunia nantinya, “pungkasnya. [gi/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.