redaksiharian.com – Pengakuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang cawe-cawe dalam urusan politik menjelang pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang dikhawatirkan bisa memicu terjadinya ketidakadilan dalam pelaksanaan proses suksesi itu.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Nasdem , Dedy Ramanta, Presiden Jokowi sebaiknya memosisikan diri sebagai negarawan menjelang perhelatan Pemilu dan Pilpres 2024 serta tidak memihak atau turut campur.
“Beliau kepala pemerintahan, kepala negara, panglima tertinggi ABRI, pengguna Badan Intelijen Negara, dan seterusnya, maka jika terlibat dalam politik tata laksana pemilu dan kemudian bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu, yang mengharuskan aparatur pemerintah negara itu netral, berdampak pada unfairness (ketidakadilan),” kata Dedy Ramanta dalam program Kompas Petang di Kompas TV, seperti dikutip pada Rabu (31/5/2023).
Dedy justru menginginkan Presiden Jokowi bersikap netral sebagai seorang negarawan dan mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.
“Dan transisi demokrasi ini berjalan dengan baik, dan seluruh komponen kepentingan bangsa beliau fasilitasi untuk dikomunikasikan,” ujar Dedy.
Menurut Dedy, sikap cawe-cawe atau ikut campur yang dilakukan Jokowi memperlihatkan dua hal. Pertama, Jokowi mendukung calon presiden atau kelompok politik yang sama-sama mempunyai kepentingan sejalan atau menjamin keberlanjutan program-programnya.
“Sinyal itu diberikan kepada seluruh kekuatan politik dan pimpinan parpol,” ucap Dedy.
Lantas yang kedua, kata Dedy, sikap itu sebagai simbol ajakan dari Presiden Jokowi kepada para pendukungnya untuk mendukung calon presiden (capres) yang didukung.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengakui bahwa dirinya cawe-cawe atau mencampuri urusan kontestasi politik menjelang Pilpres 2024.
Pernyataan Jokowi tersebut disampaikan ketika bertemu dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa nasional di Istana, Jakarta, Senin (29/5/2023) sore.
Ia menilai, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang bisa menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada 2030.
Oleh karena itu, Presiden Ketujuh RI itu menilai, kebijakan dan strategi kepemimpinan berikutnya akan menjadi penentu Indonesia untuk menjadi negara maju atau tidak.
“Karena itu saya cawe-cawe. Saya tidak akan netral karena ini kepentingan nasional,” katanya di hadapan para pemimpin redaksi media massa nasional, Senin (29/5/2023).
“Kesempatan kita hanya ada 13 tahun ke depan. Begitu kita keliru memilih pemimpin yang tepat untuk 13 tahun ke depan, hilanglah kesempatan untuk menjadi negara maju,” imbuhnya.