RedaksiHarian – Bupati Kotawaringin Timur (Kotim)Halikinnor menyampaikan rasa bangga dan apresiasinya terhadap masyarakat adat dan umat beragama yang mengutamakan perdamaian dalam menyelesaikan permasalahan.

“Ini membuktikan orang Dayak cinta damai dan saling memaafkan dengan penuh cinta kasih. Hari ini dilakukan perdamaian sehingga setelah ini tidak ada lagi dendam maupun perselisihan,” kata Halikinnor di Sampit, Kalimantan Tengah, Senin.

Halikinnor yang juga menjabat Pelaksana Tugas Ketua Umum Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Timur hadir dalam acara ritual Hangkat Hambai perdamaian antara tujuh damang kepala adat dengan Tim 11 umat Hindu Kaharingan.

Ini merupakan ritual yang dilaksanakan setelah sebelumnya tercapai kesepakatan perdamaian antara tujuh damang dengan umat Hindu Kaharingan yang diwakili oleh Tim 11.

Sebelumnya, muncul protes dari umat Hindu Kaharingan yang diwakili Tim 11, lantaran tujuh damang dalam sebuah sidang adat membuat yang di dalamnya mengaitkan dengan Kitab Panaturan yang merupakan Kitab Suci umat Hindu Kaharingan.

Hal itu menimbulkan protes dari umat Hindu Kaharingan, bahkan sempat dibawa ke ranah hukum. Namun setelah pertemuan antara tujuh damang dengan umat Hindu Kaharingan yang diwakili Tim 11, akhir dicapai kesepakatan dan perdamaian.

Menurut Halikinnor, hal ini terjadi karena ketidaktahuan. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan pengetahuan bagi lembaga adat. Adat wajib dihormati semua lapisan masyarakat, sedangkan agama berlaku bagi penganutnya masing-masing.

“Kita ambil hikmahnya. Ini juga menjadi pembelajaran bagi kita bahwa harus teliti terkait mana yang menjadi tanah agama dan mana ranah adat,” demikian Halikinnor.

Ketua Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Kabupaten Kotawaringin Timur, Rena putusan yang dibuat dari lembaga kedamangan itu telah direvisi, tetapi bukan mencabut hasil suatu putusan. Revisi tersebut mencabut bahasa-bahasa yang menyangkut kepercayaan agama Hindu Kaharingan.

“Kami umat Hindu Kaharingan tidak bisa membatalkan. Kami hanya meminta mencabut bahasa dalam Panaturan yang dimuat dalam sebuah putusan adat karena adat dan agama itu berbeda. Tidak bisa dicampuradukkan,” ujar Rena.

Rena mengaku bersyukur karena semua pihak menunjukkan jati diri orang Dayak yang bisa saling memaafkan dan menyelesaikan permasalahan dengan damai. Dia juga berterima kasih kepada Bupati Halikinnor yang telah hadir dalam acara tersebut.

“Lembaga adat dan lembaga agama sudah damai. Makanya dilaksanakan ritual Hangkat Hambai artinya mengangkat menjadi saudara. Ini juga menjadi momentum untuk membenahi dan membangun lembaga adat ini agar bisa bersinergi dengan lembaga agama,” demikian Rena.