Begitu Jokowi bicara, Jawa Tengah langsung menyiapkan lahan seluas 120 hektare di tiga kabupaten untuk sorgum. Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Jawa Tengah, Supriyanto, menyebut proyek ini sepenuhnya dibiayai APBN.
“Di Kabupaten Wonogiri ada 50 hektare sudah tanam Juli, panen September atau awal Oktober, dan yang 10 hektare di bulan Agustus. Di Kabupaten Sukoharjo tanam 20 hektar di bulan Agustus. Kemudian 40 hektare di Kabupaten Cilacap, tanam Oktober tahun ini,” kata Supriyanto.
Tahun depan, Jawa Tengah menerima tawaran penanaman sorgum di lahan seluas 25 ribu hektare.
Sorgum sebenarnya bukan komoditas baru bagi petani Jawa Tengah. Selama ini, di sejumlah titik budidayanya swadaya petani sudah berjalan, seperti Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Wonogiri. Hanya saja semua masih terbatas, karena pasarnya pun selama ini terbatas. Mayoritas diserap oleh mereka yang mengidap diabetes. Untungnya, harga jualnya cukup tinggi, mencapai Rp40 ribu perkilogram.
Selain itu ketiadaan alat pascapanen, membuat sorgum hanya dijual selayaknya beras, dan belum diolah menjadi tepung.
“Nanti, di 2023, kami jalan di 25 ribu hektare. Kami memang harus back up alat pasca panennya. Pascapanen mesin, pascapanen pengolahan, dan yang ketiga pasar. Kalau hanya panen tetapi tidak ada pasar, ya jadi bumerang,” lanjut Supriyanto.
Supriyanto juga menyebutkan, setiap hektar bisa menghasilkan 8-9 ton sorgum. Dengan luasa lahan tahun ini 120 hektar, diperkirakan Jawa Tengah akan memanen pada kisaran 960-1.080 ton.
Pemerintah Janjikan Dukungan
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sendiri pada 22 Agustus lalu melakukan panen sorgum di Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Sekali lagi, Syahrul menekankan bahwa sorgum adalah komoditas penting yang bisa digunakan sebagai bahan makanan pengganti gandum.
“Kalau begitu kenapa kita lupakan sorgum. Padahal ini juga bisa untuk mie, bisa untuk makanan lain. Kita berharap sorgum ini sebagai tanaman asli Indonesia di mana tidak membutuhkan air yang banyak, pemupukannya hampir 50 persen dan tentu saja selain buahnya, batangnya juga bisa untuk gula, daunnya bisa untuk makanan ternak,”ujar Syahrul dalam keterangan resmi kementerian.
Syahrul mengajak petani mengembangkan sorgum selayaknya bahan makanan strategis lainya. Dia bahkan menjanjikan berbagai dukungan, termasuk garansi institusi kepada perbankan. Dia berharap, dari 200 hektare yang saat ini ada, sorgum dikembangkan hingga 3.000 hektare, dan di tahap selanjutnya menjadi 10 ribu hektare.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Kementan, Suwandi menyebut sorgum sebagai komoditas unggulan Indonesia, yang batang, daun dan akarnya bisa dimanfaatkan.
“Artinya ini zero waste, daun, batang dan buahnya bisa dimanfaatkan. Sorgum juga merupakan tanaman toleran terhadap kekeringan dan tidak memerlukan banyak air selama pertumbuhannya. Sorgum bahkan dilakukan pemanenan berulang kali, dalam satu kali periode tanam,” kata Suwandi.
Dalam pertemuan dengan Kadin, pada 23 Agustus 2022 lalu, Presiden Joko Widodo juga kembali mengajak pengusaha melirik sorgum.
“Yang masih impor apa? Gandum 11 juta ton. Di Indonesia enggak bisa menanam gandum, enggak bisa. Ya campurannya gandum. Gandum bisa dicampur cassava, gandum bisa dicampur sorgum, gandum bisa dicampur sagu, dan lain-lainnya,” kata Jokowi.
Jokowi memberi contoh, budidaya sorgum di Nusa Tenggara Timur, yang menurutnya sangat baik untuk komoditas ini.
“Saya melihat kemarin di Waingapu, di NTT, yang air tidak ada. Di sana, tanahnya marginal, tetapi yang namanya sorgum tumbuh sangat subur. Lahan, kalau mau cari berapa ribu hektare pun, ratusan ribu hektare pun di NTT itu banyak,” ujarnya.
Masih Memiliki Tantangan
Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia, Dr Amin Nur, ketika dihubungi VOA mencatat sejumlah tantangan jika Indonesia ingin serius mengembangkan sorgum. Dari sisi benih, Indonesia sudah siap. Tetapi jika dikembangkan secara masif, dibutuhkan lebih banyak penangkar benih.
“Nah ini sekarang yang jadi persoalan di kita, penangkar-penangkat benih yang bergerak di sorgum ini belum banyak. Sehingga untuk program 3 tahun ke depan, untuk krisis pangan, ini perlu didorong terkait dengan perbenihan dan pengembangannya ke depan,” ujarnya.
Jika urusan benih sudah beras, budidaya tidak terlalu memiliki tantangan karena sorgum mudah tumbuh. Tantangan selanjutnya ada di pasca panen, seperti yang disampaikan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Jawa Tengah di atas.
“Ada yang mengambil sorgum untuk konsumsi, sehingga arahnya ke depan memang harus dipastikan ada beberapa mesin, seperti mesin penyosok dan mesin perontok. Artinya, ketika petani tidak bisa menjual dalam bentuk konsumsi, dia punya pilihan untuk menjadikannya beras. Ketika petani tidak punya mesin penyosok, jadi repot,” kata Amin.
Sorgum memang bisa dijual dalam bentuk masih memiliki kulit, sebagaimana gabah. Petani harus dibantu peralatan, yang bisa mengupas kulit biji sorgum itu, sehingga menjadi bentuk serupa beras. Dalam tingkat lebih lanjut, alat penepung juga dibutuhkan agar sorgum tersedia dalam bentuk tepung.
Meski begitu, sorgum memang tidak bisa 100 persen menggantikan gandum.
“Yang namanya subtitusi, hanya memberikan dukungan sekian persen untuk menggantikan gandum di situ, tidak sampai 100 persen. Karena memang untuk dijadikan sebagai bahan pembuat roti, gandum tidak bisa tergantikan oleh serealia lain, sebab gandum memiliki gluten,” tambah Amin.
Sorgum memiliki potensi sangat besar, karena hampir semua bagian tanamannya dapat dimanfaatkan. Biji sorgum bisa menjadi makanan pokok, seperti yang dilakukan masyarakat NTT saat ini. Selain itu, batang tanaman sorgum memiliki kandungan nira hingga 20 persen, sehingga dapat diolah menjadi gula. Saat ini, produk gula cair dan gula kristal sorgum telah tersedia. Bagian lain dari tanaman sorgum yang tidak dimanfaatkan di awal, dapat menjadi pakan ternak. [ns/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.