Presiden AS Joe Biden telah menandatangani RUU CHIPS dan Sains menjadi undang-undang. UU itu dibuat untuk meningkatkan daya saing AS terhadap China dengan mengalokasikan anggaran miliaran dolar bagi produksi semikonduktor dalam negeri dan riset ilmiah.

“Amerika Serikat harus memimpin dunia dalam produksi chip-chip canggih ini. Undang-undang ini akan memungkinkan hal itu,” kata Biden, yang masih dalam proses pemulihan COVID-19 dan batuk-batuk saat berbicara, dalam upacara penandatanganan undang-undang tersebut hari Selasa (9/8).

Ia menyebut legislasi bipartisan itu sebagai “investasi sekali dalam satu generasi” di AS dan mengatakan bahwa UU itu akan menciptakan lapangan kerja yang baik, menumbuhkan perekonomian dan melindungi keamanan nasional AS.

Biden juga menyinggung persaingan dengan China dalam industri chip. “Tidak heran Partai Komunis China secara aktif melobi para pengusaha AS untuk menentang RUU ini,” ujarnya.

Biden didampingi Ketua DPR AS Nancy Pelosi, Pemimpin Mayoritas Senat AS Charles Schumer, Menteri Perdagangan Gina Raimondo, serta Joshua Aviv, CEO Spark Change, jaringan pengisi daya listrik kendaraan.

Schumer menyebut UU itu sebagai “investasi terbesar dalam sains dan inovasi manufaktur dalam beberapa puluh tahun terakhir” dan berterima kasih kepada Senator dari Partai Republik, Todd Young, atas kemitraannya selama tiga tahun dalam bekerja sama merancang legislasi terkait semikonduktor.

RUU itu sempat mengalami penyesuaian beberapa kali sebelum lolos menjadi UU CHIPS dan Sains dengan total anggaran $280 miliar (sekitar Rp4.166 triliun) dengan hasil pemungutan suara 243-187 di DPR dan 64-33 di Senat AS Juli lalu.

Tahun lalu, kelangkaan semikonduktor berdampak pada pasokan mobil, peralatan elektronik dan barang-barang lainnya, serta menyebabkan inflasi yang lebih tinggi di seluruh dunia dan menurunkan tingkat kepuasan masyarakat AS atas kinerja Biden.

Undang-undang itu mencakup anggaran senilai $52 miliar (sekitar Rp773 triliun) untuk memproduksi dan melakukan riset semikonduktor, juga investasi kredit pajak bagi industri semikonduktor. Para pegiat mengatakan hal itu akan membantu AS mengejar ketertinggalan dalam persaingan industri manufaktur yang saat ini didominasi China, Taiwan dan Korea Selatan.

Kapasitas produksi semikonduktor AS di tingkat dunia telah menurun dari 37% tahun 1990 menjadi 12% sekarang, di mana sebagian besarnya karena negara-negara lain menawarkan insentif manufaktur dan menanamkan investasi pada penelitian untuk meningkatkan kemampuan produksi chip dalam negeri, menurut laporan kondisi industri oleh Asosiasi Industri Semikonduktor.

Kini China menyumbang 24% produksi semikonduktor dunia, disusul Taiwan 21%, Korea Selatan 19% dan Jepang 13%, ungkap laporan tersebut. [rd/jm]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.