Sejumlah bencana alam yang tercatat belakangan ini semakin menunjukkan dampak nyata dari perubahan iklim, yang hingga saat ini masih banyak ditepis oleh sejumlah kalangan di dalam maupun di luar negeri yang menganggap masalah tersebut tidaklah nyata.
Uniknya, wilayah ujung utara Pulau Sumatra mengalami dua bencana yang saling berlawanan, yaitu kebakaran hutan dan banjir pada saat yang bersamaan. Dua bencana tersebut terjadi di lokasi yang berbeda. Abdul Muhari Ph D, pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB menjelaskan bahwa fenomena bencana yang berlawanan, yaitu panas dan hujan, terjadi di satu fase waktu, dalam pekan yang sama, dan dalam satu garis yang sama.
“Ini adalah satu bentuk konkret dari dampak perubahan iklim di tingkat lokal. Artinya kita punya kebakaran hutan di sisi barat, kita punya punya banjir di sisi timur. Jadi ini mungkin yang perlu kita waspadai, bahwa di tingkat lokal pun kondisi dua jenis bencana berlawanan itu mulai terjadi,” kata Abdul, dalam paparan kebencanaan mingguan, pada Senin (22/8).
Dari data pada periode yang sama, tercatat bahwa kejadian bencana dalam kategori bencana hidrometeorologi basah terjadi sebanyak 36 kali di Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan terjadi di 16 titik, sementara banjir dan cuaca ekstrem masing-masing terjadi di sembilan titik serta ditemukan pula bencana tanah longsor yang terjadi di dua lokasi.
Kebakaran hutan dan lahan terjadi di wilayah pesisir barat daya dan selatan Aceh, Rokan Hulu di Riau, di Sumatra Selatan, di sebagian wilayah Kalimantan serta dua lokasi di Jawa Timur. Sementara banjir tercatat melanda wilayah Serdang Bedagai dan Medan, Hulu Sungai Tengah, Seram Bagian Barat, Jakarta dan Bogor. Di Medan, banjir sendiri terjadi sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli, karena habisnya hutan di sekitar wilayah tersebut.
“DAS itu 30 persen harus hutan supaya serapan airnya maksimal. Khusus DAS Deli ini, dari hasil kajian teman-teman JICA tahun 2015, area hutannya tinggal tinggal 5,6 persen,” ujar Abdul.
Cuaca ekstrem terjadi di banyak lokasi di Sumatra dan Jawa, sedangkan tanah longsor terjadi di wilayah Muara Enim, Sumatra Selatan. Dari deretan bencana yang terjadi sepanjang tahun ini, banjir merupakan bencana yang menimbulkan dampak korban paling besar.
“Penduduk terdampaknya sampai 37 ribu lebih, artinya yang terpaksa harus mengungsi itu cukup banyak, (dan itu) cuma dalam satu minggu. Artinya ini benar-benar banjir besar pada musim kemarau. Nah ini yang yang harus kita waspadai di beberapa tempat,” tambah Abdul.
Menanggapi situasi bencana yang ada saat ini, BNPB telah menyiagakan sekurangnya 20 helikopter, baik untuk patroli, pengawasan maupun water bombing untuk mengatasi semua bencana tersebut.
“Meskipun kita sekarang ada di musim kemarau, kita lihat ada pengaruh-pengaruh regional berdampak lokal yang tetap membawa intensitas hujan tinggi di beberapa tempat, sehingga banjirnya cukup dominan,” ujarnya.
Kondisi Cuaca Langka
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengakui hingga pekan kedua Agustus 2022, curah hujan di berbagai daerah tetap berada di level yang cukup tinggi. Bahkan pada pertengahan Juli 2022, di beberapa titik di Jakarta sempat terjadi banjir.
Dr Supriyanto Rohadi, Plt Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG menyebut kondisi tersebut merupakan sebuah kondisi yang langka.
“Hujan lebat yang mengakibatkan banjir pada bulan-bulan yang seharusnya (merupakan) musim kemarau adalah kejadian langka. Dan hal ini merupakan salah satu kejadian ekstrem atau cuaca ekstrem,” kata Rohadi, ketika berbicara dalam seminar Kejadian Ekstrim dan Perubahan Iklim, yang diselenggarakan BMKG pada Selasa (23/8).
Di belahan dunia yang lain, lanjut Rohadi, justru terdapat fenomena gelombang panas yang melanda sejumlah negara Eropa. Suhu udara di beberapa negara dilaporkan meningkat drastis, hingga mencapai 40 derajat celsius dan menimbulkan sejumlah korban jiwa.
Tantangan terbesar dunia saat ini, kata Rohadi, adalah menghadapi perubahan iklim dan dampaknya. Dia mengingatkan bahwa dampak perubahan iklim berkaitan erat dengan ketahanan pangan dan energi.
“Yang diperlukan saat ini, tidak hanya bagaimana terjadinya kejadian ekstrem itu. Tetapi juga bagaimana kita mampu memberikan peringatan dini berbasis dampak dari kejadian-kejadian ekstrem tersebut,” ujarnya lagi.
Lebih Sering Terjadi
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, mengingatkan bahwa sejumlah fenomena alam yang terjadi merupakan tanda telah terjadinya perubahan dalam kondisi iklim. Kejadian itu, menurut Eddy, adalah munculnya siklon tropis yang terus berulang di Indonesia, sebagai dampak dari perubahan iklim itu sendiri.
“Kita lihat ada siklon Cempaka, ada Dahlia, kemudian ada Seroja. Pernah kebayang enggak, sejak kapan tropical cyclone itu bisa menyentuh bibir pantai. Kenapa kok sampai menyentuh bibir pantai di Pacitan? Kenapa bisa sampai menyentuh bibir pantai yang ada di Yogya?” papar Eddy dalam diskusi di BMKG.
Menurut data BMKG, siklon Cempaka terjadi di perairan selatan di wilayah Jawa Timur dan Yogyakarta pada November 2017, dan mengakibatkan banjir besar dengan kerusakan yang merata di sepanjang kawasan Pacitan di Jawa Timur hingga kawasan selatan Yogyakarta.
Dalam rentang tidak terlalu lama, kejadian tersebut disusul oleh kemunculan siklon Dahlia di pesisir barat Bengkulu dan Lampung di Sumatra, serta wilayah selatan Banten. Sementara siklon Seroja menimbulkan bencana banjir besar di Nusa Tenggara Timur pada April 2021.
“Jadi, ancaman terbaru kawasan kita ternyata siklon tropis. Kalau dulu, kita terkait dengan hurricane, dengan badai-badai besar. Tetapi sekarang enggak, dengan cucunya, yaitu puting beliung, yang sudah kecil, tetapi bandel karena tidak bisa diprediksi,” tandas Eddy..
Data juga mencatat sejumlah curah hujan turun dengan level ekstrem di Indonesia. Jika dulu dibutuhkan waktu panjang untuk mencapai curah hujan tinggi, saat ini angka yang sama bisa dicapai dalam waktu lebih pendek.
“Dengan demikian, maka frekuensi bakal terjadinya kejadian ekstrem di masa mendatang akan lebih sering. Sebagai konsekuensi perubahan iklim di Indonesia,” tambah Eddy mengingatkan. [ns/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.