redaksiharian.com – Teriknya cahaya Matahari saat gelaran Lebaran Betawi di Lapangan Monas pekan lalu, nyatanya tak menyurutkan antusiasme masyarakat untuk bereuforia dalam acara itu.

Di tengah pesta warga berdendang di sekitar panggung utama, ada empat laki-laki yang dikerumuni warga. Terlihat satu per satu masyarakat bergiliran meminta foto bersama dengan keempatnya.

Ternyata mereka adalah komunitas batu pandan bahar Jagakarsa atau Panbajak dari Jagakarsa, Jakarta Selatan. Busana pangsi khas Betawi, dibalut aksesoris batu akik pandan, tak lupa sabuk hijau, selempang sarung dan peci merah, menjadi faktor ketertarikan masyarakat ingin mengabadikan momen dengan mereka.

Kong Salim, begitu sapaan pria berusia 67 tahun itu. Dengan busana pangsi berwarna tosca ala jawara, Kong Salim bergaya sambil memamerkan cincin batu akik pandan di kelima jemarinya saat diminta berfoto.

Namun, akik bukan sembarang akik. Yang membuat warga terheran adalah ukurannya yang tak biasa.

Jika umumnya cincin batu akik terselip di jemari, cincin batu pandan yang dipakai Kong Salim bahkan menutupi pergelangan tangannya karena ukurannya yang mencapai 60-70 cm.

Tak hanya cincin batu akik pandan, ia juga mengenakan lima liontin batu akik yang tak kalah beratnya, serta gelang bahar di kedua lengannya, yang membuatnya merasa makin percaya diri.

Bersama ketiga rekannya, Kong Salim mengaku memang datang tanpa diundang secara resmi oleh panitia acara Lebaran Betawi. Kedatangannya murni untuk memperlihatkan salah satu tradisi yang masih digemari laki-laki Betawi, yakni mengoleksi batu pandan.

Ia pun menyebutkan macam-macam batu akik yang ia kenakan, mulai dari batu klawing, sepah kelor, pancawarna, hingga blueopal.

Sebelum menjadi aksesoris, batu akik tersebut harus dipesan terlebih dahulu dengan lama pembuatan 5 hari sampai 1 minggu. Kong Salim memesannya di Sukabumi dan Rawabening, Jakarta Timur.

Harganya pun bermacam-macam, mulai dari Rp1,5 juta sampai Rp3 juta untuk satu cincin. Bahkan, saat batu akik boomingtahun 2015, harganya bisa mencapai Rp20 jutaan.

Kong Salim mengungkapkan hobi mengoleksi batu akik sudah ditekuninya saat ia bujangan. Komunitas Panbajak sendiri sudah berdiri sejak 7 tahun lalu, dan ia menjadi salah satu pendirinya.

Berawal dari hanya lima orang, akhirnya kini komunitas tersebut bertambah anggotanya menjadi lebih dari 30 orang, dari usia muda hingga tua.

Selain Kong Salim, Bang Kemeng juga menekuni hobi koleksi batu akik sejak masih muda. Lelaki 53 tahun itu bahkan terbilang fanatik dengan koleksi batu pandan kecintaannya.

Sewaktu tren batu akik merebak, batu pandan Bang Kemeng pernah ditawar hingga Rp25 juta. Ia pun mengaku tergoda dengan tawaran tersebut karena bisa membeli dua sepeda motor, yang kala itu ia butuhkan.

“Waktu booming kemarin saya tidak jual. Nggak menyesal juga karena saya koleksi bukan untuk cari duit,” katanya.

Koleksi batu akik Bang Kemeng diceritakan sudah mencapai satu etalase khusus yang disimpan di ruang tamu. Ia memakai aksesoris tersebut saat acara-acara besar, seperti tradisi Palang Pintu, pernikahan orang Betawi, lomba silat, hingga saat bertemu komunitas.

Komunitas Panbajak biasanya rutin berkumpul untuk saling silaturahmi antaranggota setiap akhir pekan di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Selain memamerkan aneka koleksi batu akik, para anggota juga menjualnya kepada masyarakat umum.

Dahulu dipakai Jawara

Tokoh budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, menjelaskan bahwa batu akik saat ini memang dipakai oleh masyarakat umum.

Namun untuk jenis tertentu, batu akik digunakan oleh golongan berbeda, seperti kaum ulama dan guru ngaji yang memakai batu akik pirus, kemudian jawara Betawi memakai batu kecubung wulung dilengkapi dengan gelang bahar, dan si jago silat yang memakai batu akik pandan.

Seiring waktu, batu akik pandan, khususnya sekarang ini, dipakai masyarakat umum dari berbagai profesi.

Dengan keindahan warnanya, batu akik pandan ternyata dapat berubah menjadi hijau lumut bahkan merah, tergantung dari sang pemakai cincin.

Yahya menjelaskan warna batu akik pandan akan berubah sesuai dengan warna yang diinginkan oleh sang pemakai, setelah batu tersebut diberi bacaan dan disyaratkan dengan doa-doa.

Warna yang timbul sesuai keinginan si pemakai akan memberikan kepercayaan diri, apalagi jika batu tersebut dirawat dengan telaten.

Menurut Yahya, sebagian masyarakat Betawi menganggap batu akik menjadi media bersemayamnya makhluk tertentu sehingga memang perlu perawatan khusus, seperti direndam dengan minyak wangi bukhur.

Layaknya keris, Yahya mengatakan batu akik harus direndam dengan minyak wangi bukhur pada malam tertentu, kemudian sering digosok agar cahayanya semakin bersinar.

Aksesoris wajib lelaki Betawi

Budaya mengoleksi batu sebagai perhiasan, memang sudah ada ketika zaman perunggu. Pada masa itu, manusia sudah pandai membuat alat-alat rumah tangga dari besi dan batu.

Saat Indonesia memasuki zaman kerajaan, aksesoris batu alam pun menjadi bagian beraktivitas bagi golongan masyarakat mulia, seperti raja-raja hingga habib ulama.

Khusus bagi masyarakat Betawi, batu akik diidentikkan sebagai aksesoris yang bersatu dalam tubuh seorang jawara, centeng, tukang, hingga jago silat.

Bentuknya pun kini lebih beragam, dari awalnya berupa cincin dengan ukuran batu yang proporsional, menjadi cincin dengan ukuran memanjang. Batu pandan juga kini dipasangkan dalam sabuk serta dibuat gelang dan liontin, menyesuaikan dengan hobi kontemporer masyarakat Betawi.

Namun yang utama, masyarakat Betawi menganggap batu akik pandan merupakan aksesoris wajib ketika mereka mengenakan pakaian pangsi Betawi saat acara-acara besar.

Seorang laki-laki Betawi yang menggunakan pangsiharus memakai seluruh aksesoris kopiah atau peci merah, sarung selempang, sabuk hijau, gelang bahar, sendal ban, serta cincin, dan liontin batu akik pandan sebagai pelengkapnya.

“Tidak bisa tanggung, dia harus komplet propertinya. Kalau kurang akan jadi omongan yang tidak enak bagi yang melihatnya,” kata Yahya.